Selasa, 26 Oktober 2010

STRATEGI MENGATASI SARJANA MENGANGGUR

indahnya persaudaraan 
Oleh abu tabina

Latar Belakang
Pengangguran merupakan hal klise di Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 64 tahun yang lalu masalah sosial ini belum mendapatkan solusi terbaiknya. Masih saja angka pengangguran di negeri yang memiliki kekakayaan alam berlimpah terbilang cukup tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) yang melakukan survei tenaga kerja setiap bulan Februari dan Agustus setiap tahunnya menunjukan kepada kita bahwa, angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja 102,55 juta jiwa. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9,43 juta jiwa (8,46 persen).

Pengangguran terbuka didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 17,26 persen dari jumlah penganggur. Kemudian disusul lulusan Sekolah Menengah Atas (14,31 persen), lulusan universitas 12,59 persen, diploma 11,21 persen, baru lulusan SMP 9,39 persen dan SD ke bawah 4,57 persen. Angka tersebut menjelaskan bahwa pengangguran berpendidikan di negeri ini terbilang cukup tinggi dan perlu bersama-sama merumuskan solusi terbaik untuk mengatasi pengangguran yang bila tidak diatasi secara bijak dapat menimbulkan masalah social yang lebih besar lagi. Karena selalu saja ada hubungan antara tingkat kriminalitas dengan banyaknya orang menganggur dan kemiskinan.

Media memprediksi pada tahun 2010 jumlah pengangguran di Indonesia semakin meningkat, menjadi 10 persen dari total penduduk. Salah satunya disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda dunia menyebabkan perusahaan-perusahaan asing hengkang dari Indonesia dan menimbulkan PHK besar-besaran. Semakin menambah deretan masalah penyebab kemiskinan di negeri ini.

Ada tiga (3) hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja sehingga menjadi pengangguran, yaitu hambatan kultural, mutu dan relevansi kurikulum pendidikan, dan pasar kerja. Hambatan kultural menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara masalah kurikulum pendidikan adalah belum adanya mutu dan relevansi kurikulum pengajaran di lembaga pendidikan tinggi yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian sumber daya manusia (SDM) yang sesuai kebutuhan dunia kerja.

Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Namun fakta cenderung menunjukkan, sistem pendidikan Indonesia jauh lebih produktif dalam mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Hasilnya banyaknya pengangguran terdidik yang menuggu pekerjaan ketimbang membuat pekerjaan (berwiraswasta), salah satu sikap mental anak bangsa yang perlu dibenahi.

Permasalahan
Banyaknya pengangguran kaum intelektual di negeri ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di negeri ini belum mampu mencetak generasi usia produktif yang unggul. Karena erat kaitannya antara pendidikan dan cara pandang seseorang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik dengan bekerja kepada orang lain ataupun dengan menciptakan pekerjaan sendiri yang justru mampu memberikan pekerjaan kepada orang lain. Sehingga tulisan ini mencoba untuk membahas bagaimana solusi mengatasi sarjana atau kaum terdidik yang menganggur di Indonesia yang setiap tahun selalu saja meningkat seiring dengan semakin banyaknya perguruan tinggi melakukan wisuda para sarjananya.

Paradigma
1. Qur’an surat Ar Ra’d ayat 11: “ Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
2. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan :” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
3. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
4. Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia, di dalam pasal 25(1) disebutkan: “Setiap orang berhak atas hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan sosial pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut, atau mengalami kekurangan mata pencaharian yang lain karena berada di luar kekuasaannya.

Kebijaksanaan

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang paling utama. Orang yang tak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang belum bisa terselesaikan oleh pemimpin bangsa ini. Tapi lebih ironis bila angkatan kerja yang menganggur tersebut banyak yang berasal dari kalangan sarjana atau masyarakat terdidik.

Masyarakat dunia melihat pola pengangguran di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sebagai fenomena unik. Sebab, ternyata tingkat pengangguran lebih banyak ditemukan di kalangan mereka yang mengenyam pendidikan tinggi dan didominasi oleh kaum muda produktif. Sehingga adanya fenomena ini menjadi tanda tanya besar bagi kita apa yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Padahal dari segi sumber daya alam Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya melimpah, bahkan terbilang cukup lengkap. Wilayah lautannya yang membentang dari ujung Pulau Sumatra hingga Papua menyimpan kekayaan kelautan yang melimpah.

Ditambah lagi hasil tambang berupa minyak dan gas bumi, serta barang tambang lainnya tersimpan kokoh diperut bumi Indonesia. Di latar belakang, telah disinggung bahwa ada tiga ( 3) hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan budaya, mutu dan relevansi kurikulum pendidikan, dan pasar kerja atau lapangan pekerjaan. Hambatan budaya menyangkut sikap seseorang terhadap pekerjaan dan etos kerja.

Sementara masalah kurikulum pendidikan adalah belum adanya mutu dan ketepatan kurikulum pengajaran di lembaga pendidikan tinggi yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian sumber daya manusia (SDM) yang sesuai kebutuhan dunia kerja dalam menghadapi era globalisasi. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja dan juga sebagai akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang memadai di Indonesia dalam menampung angkatan kerja yang melimpah. Berlatar belakang ke tiga hal tersebut itulah, akan dibahas solusi atau strategi yang dapat diterapkan dalam mengatasi sarjana menganggur di Indonesia

1. Budaya
Mayoritas masyarakat Indonesia memiliki budaya malas untuk belajar dan membaca. Hal ini tentu saja semakin menambah daftar kekurangan bangsa ini, padahal banyak belajar dan membaca merupakan salah satu ketentuan yang harus dilakukan karena telah ditetapkan di dalam Al Quran sebagai salah satu kitab suci terbesar yang dimiliki oleh masyarakat muslim di Indonesia. Belajar dan banyak membaca juga menjadi ciri khas dari negara maju yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya terbilang cukup tinggi seperti negara Jepang dan negara-negara maju di Benua Eropa.

Budaya malas membaca dan belajar akan berimplikasi kepada kemalasan seseorang untuk berusaha menjadi lebih baik dan terkesan hanya bersikap pasif, pasrah terhadap keadaan. Inilah kenapa masyarakat yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang luas maka sikapnya terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya kurang bergairah dan terkesan menunggu pekerjaan tanpa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri.

Jika semangat belajar dan membaca yang tinggi di masyarakat Indonesia menjadi budaya maka tidak mustahil permasalahan pengangguran di negeri ini dapat teratasi dengan baik. Karena masing-masing individu akan berusaha melakukan apapun, berpikir dan berbuat yang halal tentunya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Mengutip pernyataan John F. Kennnedy, salah satu dari sekian presiden Amerika Serikat, Ia mengatakan bahwa “ jangan tanyakan apa yang negara lakukan untukmu tapi tanyakan apa yang engkau lakukan untuk negaramu”. Pernyataan ini memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya masyarakat jangan terlalu berharap terhadap negara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi berusahalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri tanpa harus selalu tergantung dari negara. Walaupun salah satu fungsi negara adalah memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi warganegaranya.

Di Indonesia, budaya untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pilih-pilih pekerjaan di kalangan sarjana masih tinggi, ketimbang budaya berwiraswasta. Sehingga sikap ini lah yang menjadi salah satu penyumbang angka pengangguran ditingkat sarjana cukup tinggi. Sehingga perlu ada usaha-usaha intensif dari pemerintah dan tokoh masyarakat untuk merubah pola pikir seperti ini. Ditambah lagi, jenjang pendidikan tinggi sebagai jaminan memperoleh pekerjaan yang baik ternyata menjadi doktrin bagi kebanyakan masyarakat kita.

Pandangan ini dalam banyak hal turut memperparah banyaknya lulusan Perguruan Tinggi (PT) yang tidak bekerja. Kita menyaksikan bagaimana para sarjana masih terus disibukkan persoalan mencari kerja, sementara ketersediaan lapangan kerja makin sempit.

2. Mutu Dan Relevansi Kurikulum Pendidikan
Fakta cenderung menunjukkan, sistem pendidikan Indonesia jauh lebih produktif dalam mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Seperti banyaknya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang membuka jalur ekstensi dan D3, meski kenyataannya kampus tersebut tidak memiliki sarana pendidikan dan dosen yang sebanding dengan jumlah mahasiswanya. Sedangkan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) lebih kepada penghematan pengeluaran untuk dana pendidikan karena takut mahasiswa terbebani uang kuliah terlalu tinggi. Tindakan ini mengakibatkan PT sekadar mesin penghasil ijazah ketimbang manusia yang memiliki kematangan ilmu dan kemandirian.

Akibatnya negara Indonesia memiliki ribuan kaum terdidik yang tidak profesional dan tidak berjiwa enterpreneur. Kemajuan suatu bangsa bisa dilihat dari geliat perekonomian yang ada didalamnya, dan perekonomian hanya bisa digerakan oleh orang-orang yang memiliki jiwa untuk berkreasi dan berinovasi. Tanpa itu semua mustahil suatu bangsa akan bisa maju.

Oleh karena itu sistem pendidikan di negeri ini harus dirubah, yaitu dengan cara lebih menekankan kepada pendidikan yang mencetak para wiraswasta atau enterpreneur muda ketimbang para pekerja muda atau para pegawai negeri. Caranya bisa dengan merubah kurikulum pendidikannya yang lebih berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja dan bisa juga dengan membebankan mahasiswa atau pelajar sebelum menyelesaikan pendidikannya dengan kewajiban membuat suatu usaha atau kegiatan yang bernilai materi. Hal tersebut tentunya akan melatih pelajar dan mahasiswa untuk berpikir kritis membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan.

Sistem pendidikan di Indonesia ternyata masih menghasilkan lulusan yang kemandirian dan semangat kewirausahaannya rendah. Sebagian besar lulusan pendidikan kita hanya bisa menjadi buruh atau karyawan. Persentase yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan bahkan mempekerjakan orang lain masih sedikit. Seorang sarjana harus mampu berpikir konstruktif, kreatif dan inovatif. Sarjana harus menjadi pelopor, tak menunggu kesempatan.

Namun, kenyataannya tak semua sarjana mempunyai pemikiran seperti Ini. Tidak ada negara maju yang pendidikannya mundur, dan tak ada pendidikan mundur yang mampu memajukan negara. Jika Indonesia ingin menjadi negara maju, benahilah sistem dan metode pendidikannya. Mulai yang paling kecil dan dilakukan sekarang juga. Perlu dicatat, ada semacam dilema dalam penyelenggaraan pendidikan di PT, yaitu antara memenuhi permintaan pasar atau bertahan dalam proses pendidikan tinggi yang ideal. Permintaan pasar dipenuhi perguruan tinggi dengan membuka program studi yang laku di pasar tenaga kerja.

Berdasarkan pengamatan, saat ini program studi yang permintaannya cukup tinggi adalah manajemen informatika, teknologi informasi dan komunikasi serta broadcasting. Maka, PT berlomba-lomba membuka jurusan atau program studi tersebut. Namun, terkadang PT mengabaikan kompetensinya. Misalnya, sebuah PT berani membuka program studi teknologi informasi, padahal tak mempunyai tenaga ahli tetap untuk bidang tersebut.

Ini banyak terjadi di berbagai PT. Alhasil, lulusan dari program studi itu tak memiliki bekal ilmu yang cukup sehingga menjadi sarjana tak berkualitas. Alasan utama sebuah PT melakukan jalan pintas seperti itu adalah demi bertahan hidup dan memperluas bisnisnya. PT sekarang mempunyai paradigma sebagai unit bisnis yang harus menghasilkan keuntungan (profit oriented). Maka, orientasinya menghasilkan keuntungan, jumlah mahasiswa harus banyak. Mereka berbuat demikian karena dituntut bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya.

Muncullah image di Indonesia bahwa pendidikan tinggi adalah sebuah pabrik pendidikan. Sehingga perlu ada perubahan kualitas sistem dan metode pendidikan, dosen, kesejahteraan tenaga pendidik, metode mengajar, dan infrastrukturnya. Dalam banyak hal patut kita cermati, peningkatan kualitas pendidikan adalah sebagai titik penentu yang mempertinggi kesempatan orang-orang terdidik memperoleh pekerjaan. Itulah masalah yang perlu kita atasi segera.
3. Pasar Kerja atau Lapangan Pekerjaan.
Pasar kerja yang tersedia di negeri ini umumnya banyak yang tidak sesuai dengan bidang keahlian yang digeluti oleh para sarjana. Ditambah lagi dengan lulusan PT yang tidak mampu berkompetisi dan tidak diterima oleh pasar kerja sebagai akibat kualitas lulusan yang buruk. Belum lagi jumlah lapangan pekerjaan yang minim harus diperebutkan oleh ribuan sarjana yang mencari kerja. Sehingga solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah pemerintah bersama-sama masyarakat membuat program yang melibatkan para sarjana agar dapat diberdayagunakan untuk membangun perekonomian rakyat.
Sebagai contoh adanya program Sarjana Penggerak Pedesaan (SPP), program ini sangat positif apabila dijalankan sesuai koridor yang berlaku dan adanya pengawasan yang insentif dari pemerintah penyalur sarjana ke desa-desa. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah terlebuh dahulu memberikan penyuluhan dan standar-standar pekerjaan yang harus dilakukan oleh para sarjana tersebut agar tidak terkesan tidak tahu mau berbuat apa. Dan juga melakukan kerjasama dengan negara asing atau perusahaan asing untuk menggunakan para sarjana terbaik lulusan dari Indonesia untuk bekerja di negara atau perusahaannya kemudian menerapkan ilmu yang di dapatnya untuk pembangunan di Indonesia.

Solusi lain yang bisa diterapkan untuk mengatasi lapangan pekerjaan yang minim adalah dengan memberikan kemudahan seorang sarjana atau lulusan PT dalam memperoleh pinjaman modal dengan bunga ringan untuk mengembangkan suatu usaha produktif.
 
Kesimpulan

Masalah pengangguran kaum sarjana merupakan masalah kita semua, yang disebabkan oleh beberapa aspek yang telah disebutkan di atas. Sehingga jika ingin mengurangi sarjana menganggur di negeri ini, ketiga hal tersebut yang menjadi penyebab sarjana menganggur harus ditangani dengan bijaksana, baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara bersama-sama. Karena semua kebijakan pemerintah akan efektif bila para aparat pemerintah dan masyarakat saling bahu membahu melaksanakan kebijakan tersebut dengan solid dan terpadu.

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa strategi yang dapat dilakukan dalam mengatasi sarjana menganggur adalah:

1. Tanamkan jiwa belajar dan membaca kepada para sarjana untuk merubah pola pikir (mindset) mereka terhadap pekerjaan atau pemenuhan kebutuhan hidup.
2. Menggiatkan penyuluhan kepada para sarjana atau para intelektual untuk lebih berorientasi menciptakan pekerjaan ketimbang mencari kerja atau menjadi pegawai negeri.
3. Merubah sistem pendidikan di Indonesia yang dapat menghasilkan lulusan-lulusan berkualitas dan siap untuk menduduki suatu pekerjaan sesuai dengan keahlian dan ilmunya.
4. Menanamkan jiwa enterpreneur beserta prakteknya sebelum pelajar atau mahasiswa menamatkan pendidikanya di PT.
5. Menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan memperbanyak lobi-lobi politik ke negara maupun perusahaan asing.
6. Memberdayakan para sarjana untuk mengembangkan daerah pedesaan serta memberikan kredit modal usaha dengan bunga ringan agar mereka mampu menciptakan sumber usaha produktif.

Saran
Saran yang dapat diberikan penulis dalam mengatasi permasalahan ini adalah dengan cara pemerintah bersama masyarakat menjalankan kebijakan dan strategi yang telah dibuat dengan optimal. Karena tanpa ada dukungan dari masyarakat maka mustahil kebijakan mengatasi pengangguran intelektual dapat terlaksana dengan efektif.
Intinya semangat untuk berwiraswasta perlu ditanamkan sejak dini kepada para sarjana mupun para calon sarjana sebelum mereka lulus dari dunia pendidikan formal serta merubah sistem pendidikan Indonesia dari yang mencetak para pekerja beralih kepada pencetak enterpreneur muda.

Daftar Pustaka
Hoogvelt, Ankie M.M. (1995). Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. (2006). Kebijakan Publik: Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: Elex Media Kompetindo
www.tempointeraktif.com

5 komentar:

  1. smoga setelah saya lulus nanti tidak menjadi pangangguran intelektual.thanks gan atas artikelnya

    BalasHapus
  2. lagi benar-benar nganggur nich... lagi cari ide buat berwirausaha..

    BalasHapus
  3. hatur nuhun pisan hehe, sangat membantu

    BalasHapus