Minggu, 31 Oktober 2010

Implementasi Kebijakan Ujian Nasional (UN) di Indonesia

Implementasi Kebijakan Ujian Nasional (UN) di Indonesia
oleh abu tabina
(terinspirasi dari kuliah DR.Ardiyan S. di UNSRI)

Meskipun ujian nasional masih sangat lama, beberapa bulan ke depan. Tetapi tidak ada salahnya jika saya membahas masalah ini.

Latar Belakang
Pendidikan yang berkualitas memegang peran kunci dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul. Sementara SDM diperlukan sebagai penggerak proses pembangunan suatu Negara, semakin berkualitas SDM yang dimiliki oleh suatu Negara maka semakin cepat proses pembangunannya menuju masyarakat madani. Undang-undang Dasar tahun 1945 menyebutkan bahwa pendidikan merupakan hak warga Negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai intitusi Negara.
Hak warga Negara tersebut dapat berupa mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas dan murah, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pendidikan yang mahal. Dalam era otonomi daerah, terutama sejak dikeluarkannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menjalankan proses pendidikan di daerahnya masing-masing, tetapi tetap megikuti pedoman dan prosedur yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat selaku pemegang kebijakan tertinggi.
Menurut Heintz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam buku Charles O. Jones mendefinisikan kebijakan sebagai “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut (1996). Sehingga sering terdengar di masing-masing daerah di Indonesia memiliki kebijakan yang berbeda berkaitan dengan biaya pendidikan dan peningkatan kesejahteraan praktisi pendidikan.
Semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka semakin besar pula dana yang dianggarkan untuk peningkatan penyelenggaraan pendidikan. Sementara pemerintah pusat mematok anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini adalah dengan melaksanakan ujian kelulusan atau yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN) yang dilakukan serentak secara nasional dengan standar nilai dan jumlah mata ujian ditentukan sebelumnya oleh Departemen Pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). UN sudah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2002/2003 dengan standar nilai 3,01 hingga tahun ajaran 2009/2010 dengan standar nilai kelulusan menjadi 6,00 dan dengan enam (6) mata pelajaran yang diujikan.
Terjadi perdebatan di masyarakat berkenaan dengan kebijakan pemerintah ini, ada yang mendukung UN dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang memang terperosok jauh dari Negara tetangga dan ada yang menolak dengan beragam argumentasi kerugian yang timbul akibat pelaksanaan UN. Puncaknya ketika pada 14 September 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008 (www.kompas.com).

Dalam isi putusan ini, tergugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. Dengan demikian MA melarang UN yang diselenggarakan oleh Depdiknas. Sehingga terjadi permasalahan yang belum ada kejelasan hingga saat ini, apakah UN tetap dijalankan dengan mekanisme dan prosedur yang diperbaiki atau UN dihapus berganti dengan kebijakan lain. Meskipun perkembangannya pada akhirnya UN tetap dilaksanakan dengan memberikan keringan bagi yang tidak lulus UN untuk mengulang kembali mata pelajaran yang tidak lulus.

Rumusan Masalah
UN sejak awal sudah menuai kontroversi di Indonesia, sebahagian masyarakat menganggap UN tidak tepat untuk dilaksanakan secara merata di Indonesia. Disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana masing-masing sekolah yang ada di seluruh Indonesia belum merata, serta tidak semua sekolah dan siswa mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkualitas. Sehingga dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalahnya, apakan kebijakan UN masih tetap layak untuk dilaksanakan di Indonesia dan jika tidak solusi apa yang bisa diberikan untuk mengganti kebijakan UN tersebut.

PEMBAHASAN
Dilematis Pelaksanaan UN
Ujian Nasional sejak digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 tidak jarang menjadi momok menakutkan bagi pelajar yang kawatir tidak lulus karena tidak mendapatkan nilai yang mencukupi, sementara bagi para guru dan institusi pendidikan tempat siswa menimba ilmu kekawatiran serupa terjadi, kualitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan, tergantung dari banyak dan sedikitnya siswa yang lulus dalam UN. Sehingga tidak jarang terjadi kecurangan-kecurangan dari pelaksanaan UN di daerah-daerah baik yang dilakukan oleh siswa itu sendiri maupun oleh para pendidik, dengan tujuan satu, mendongkrak nilai UN siswa agar mendapatkan nilai sesuai dengan batas minimal kelulusan.

UN di beberapa daerah masih cenderung mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab. Media elektronik dan cetak merekam kecurangan ini, banyak sekolah dan orang tua siswa yang paranoid dan sangat khawatir siswanya tidak lulus ujian dengan persentase tinggi. UN layaknya ‘palu sidang’ yang akan dijatuhkan untuk memvonis apakah seorang siswa dianggap pandai sehingga layak memperoleh predikat lulus, atau sebaliknya.

Mengingat hasil ujian ini berimplikasi pula pada eksistensi dan kredibilitas sekolah, setelah ditelisik lebih jauh ternyata paranoid ini tidak saja mengidap sekolah dan orang tua siswa, namun pemerintah daerah juga merasa perlu dan berkepentingan menjaga muka terkait pengelolaan pendidikan di wilayahnya. Selanjutnya sudah bisa ditebak, beragam kebijakan diambil oleh pemerintah daerah terkait sukses UN ini.

Realitas ini tentu sangat memprihatinkan apalagi di dunia pendidikan yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Faktanya pelaksanaan UN tahun 2008-2009 yang lalu masih ditemukan sejumlah 33 sekolah yang melakukan kecurangan dalam pelaksanaannya (www.swaramerdeka.com). Masih segar dalam ingatan kita terhadap sekelompok guru yang menamakan dirinya Komunitas Air Mata Guru. Sebuah kelompok guru yang meskipun pahit telah berani mengikuti nuraninya sebagai seorang pendidik, untuk melaporkan berbagai macam tindakan kecurangan dalam pelaksanaan ujian pada sekolah mereka di Medan dan daerah sekitarnya.

Sayangnya, keberanian mereka mengungkap kecurangan ini menuai intimidasi. Mereka dianggap mencemarkan nama baik sekolah, diturunkan atau ditunda kenaikan pangkatnya hingga diberhentikan. Sikap Depdiknas pun setali tiga uang. Alih-alih melindungi para guru tersebut malah ikut menyudutkan mereka. Padahal dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak memperoleh perlindungan atau memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.

Masyarakat sebenarnya bisa mengerti ketika pemerintah menilai bahwa ujian tersebut bisa meningkatkan motivasi belajar. Namun sayangnya, motivasi itu muncul hanya di akhir tahun ajaran menjelang ujian, bukan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Mereka berlomba-lomba memasuki institusi pendidikan non formal hanya untuk dapat lulus UN dan tentunya akan membuat pengeluaran masyarakat di bidang pendidikan semakin membengkak, belum lagi mental pelajar yang menjadi terganggu dengan tekanan belajar yang meningkat tajam.

Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.

Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN yang selama ini dilakukan hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Ketiga, aspek sosial dan psikologis.

Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 dan meningkat seterusnya dari tahun ketahun. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di UN kan di sekolah dan di rumah. Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya.

Tidak hanya pemerintah yang harus mengeluarkan dana ekstra dalam memberikan materi tambahan kepada peserta didik, tetapi juga orang tua siswa yang terpaksa mengalokasikan dana untuk memberikan kursus tambahan agar anaknya mendapatkan nilai memuaskan dalam pelaksanaan UN nantinya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Solusi Akhiri Kontrovesi Pelaksanaan UN
Kontroversi ujian nasional atau UN yang muncul sejak tahun 2003 sampai kini belum tuntas. Setiap menjelang pelaksanaan UN selalu terjadi tarik ulur antara Depdiknas dan DPR, tapi akhirnya kemenangan selalu ada pada pemerintah. Menurut hemat penulis ada satu solusi yang bisa diterapkan oleh pemerintah dalam mengakhiri kontrovesi pelaksanaan UN ini.
Sebelumnya, pemerintah telah membentuk sebuah Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang memberikan penilaian terhadap kualitas setiap institusi pendidikan baik negeri maupun swasta secara nasional di negeri ini. Ada nilai A, B, dan C, yang setiap nilai mewakili kualitas pendidikan yang dijalankan oleh masing-masing institusi dilihat dari kualitas pengajar, peserta didik, prestasi, sarana dan prasarana sekolah serta system yang diberlakukannya.
Kesemuanya dapat menentukan apakah suatu sekolah layak mendapatkan nilai tertinggi atau terendah, semakin baik penilaian aspek tersebut, maka semakin baik pula Akreditasi yang diperoleh. Sehingga dapat ditarik sebuah benang merah dari permasahan ini, kebijakan adanya Akreditasi pada setiap sekolah dipadukan dengan Ujian Nasional. Hasilnya, Ujian Nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah tetap diberlakukan tetapi dengan membuat standar soal sesuai dengan tingkatan akreditasi masing-masing sekolah.

Ada soal UN yang peruntukannya untuk sekolah dengan Akreditasi A, Akreditasi B, Akreditasi C dan juga soal UN untuk sekolah yang belum layak mendapatkan akreditasi dengan keterbatasan hal-hal yang disebutkan di atas. Apabila kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah, maka tidak ada lagi sekolah yang merasa belum siap melaksanakan UN karena keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, ataupun disebabkan oleh kualitas guru yang berbeda-beda.
Kebijakan ini dapat menjawab persoalan tersebut. Karena masing-masing sekolah mendapatkan soal UN sesuai dengan tingkatan akreditasi sekolahnya. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu pada prinsipnya untuk mengarahkan cara-cara bertindak dengan terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu (Suharto:2005). Sehingga adanya kebijakan perpaduan ini menyebabkan kebijakan pemerintah itu saling sinergi dan melengkapi bukannya saling bertentangan seperti yang selama ini sering terjadi antara peraturan daerah dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ujian Nasional yang diberlakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan tidak lain mempunyai tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang terpuruk dari Negara lain terutama di wilayah Asia Tenggara. Meskipun akhirnya terjadi kontroversi di tengah masyarakat dan berakibat keluarnya putusan MA, yang melarang dilaksanakannya UN pada tahun ajaran 2009/2010.

Tetapi ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaan UN selanjutnya yaitu:
1. UN tetap dilaksanakan tetapi soal UN diselaraskan dengan tingkatan Akreditasi masing-masing sekolah.
2. Membentuk kepanitiaan independen dalam pelaksanaan UN dari tingkat pusat,sampai ke sekolah-sekolah. Bukan hanya itu, Panitia Independen juga bertugas menjadi pengawas ruang saat berlangsungnya ujian, mengawasi dan atau mengumpulkan lembar-lembar jawaban, sampai dengan pengawasan dalam proses penilaian dan pengumuman hasil ujian nasional.
3. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus menerus meningkatkan pengalokasian anggaran di bidang pendidikan agar kualitas pendidikan dinegeri ini semakin meningkat dan merata.
4. Para pendidik dan pemerintah daerah negeri ini perlu belajar kembali tentang norma-norma kejujuran, sehingga tidak dengan mudah menerapkan segala cara dalam mendongkrak nilai UN siswa.


Daftar Pustaka
Jones, Charles O.. (1996). Pengantar Kebijakan Publik. Ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suharto, Edi. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
www.swaramerdeka.com.
www.kompas.com.

Jumat, 29 Oktober 2010

Teruntuk Indonesiaku

Teruntuk Indonesiaku
Menangis…. menangis…bersedih…bersedih..
Bersedih kemudian menangis
Menangis kemudian bersedih
Menangis dan bersedih..
Bersedih terus mengangis…
Menangis terus-terus bersedih
Bersedih, menangis terus-terus….
Terus-terus mengangis dan bersedih…
Tertawa...

Kamis, 28 Oktober 2010

<< Reformasi Hidup..>

oleh abu tabina

Evolusi hidup manusia yang dianalogikan dengan siklus metamorfosisnya kupu-kupu. Dari berbentuk larva hingga ke bentuk ulat yang sebagian orang menganggapnya jijik menjadi seekor kupu-kupu yang bernilai seni tinggi hasil karya Sang Maha Agung. Begitu singkatnya kehidupan kupu-kupu, begitu juga halnya dengan manusia. Walupun singkat, kehadiran kupu-kupu mampu menyejukan mata yang memandangnya dengan warna indah yang selalu dibawanya dan ia bermanfaat bagi tanaman dalam proses penyerbukan. Manusia juga pada hakekatnya harus seperti itu mampu membawa warna baru bagi manusia lainnya walau hanya lingkup yang sangat kecil.

Tapi, adakalanya evolusi hidup yang memakan waktu sangat lama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun perlu segera dilakukan “Reformasi Hidup”. Yang apabila detik ini kita bisa lakukan maka lakukanlah, jangan pernah menunggu waktu, toh kita ‘gak tau sampai kapan jembatan hidup ini berujung. N’tah b’sok, lusa atau detik dimana anda membaca tulisan ini (if can do it so do it)

Evolusi dan reformasi perlu segera dilakukan, tapi jangan salah arah. Arah yang benar adalah progresif, bukan sebaliknya. Apakah anda setuju apabila pakaian yang kita kenakan kembali ke zaman prasejarah yang mana dada dan kemaluan saja yang di “amankan”?
Tanpa “mengerti” makna dari sebuah pakaian? Atau apakah anda setuju bila nafsu saja yang diperturutkan tanpa peduli masa dimana segala sesuatu akan di Hisab? (ditanyakan pertanggungjawabannya).
Reformasi merupakan bagian dari evolusi yang menjunjung tema sebuah roman kehidupan yang penuh dengan teka-teki kotor dan jalan-jalan terjal nan berbatu.

Wahai generasi muda, kalian semua telah menyandang tugas sebagai agent of change untuk menggiring negri yang dibilang sebagai “sepotong surga” ini kearah kemajuan dan kesejahteraan. Jangan jadikan waktu hanya sebagai “barang mainan” lakukan apa yang bisa dilakukan, jangan jadikan Barat sebagai “kiblat” kita tapi bagaimana kita bisa membuat “kiblat” kita sendiri yang tentunya tidak lari dari tuntunan diin Islam. Mari kita bersama-sama isi hidup kita dengan warna-warna cerah. Jangan terlalu mengagungkan dunia sebagai surga, hingga HAM & kebebasan dijadikan berlebihan,ingat bahwa kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.

” Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar-Ro’du : 11)

Hidup Reformasi !!!!

Selasa, 26 Oktober 2010

STRATEGI MENGATASI SARJANA MENGANGGUR

indahnya persaudaraan 
Oleh abu tabina

Latar Belakang
Pengangguran merupakan hal klise di Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 64 tahun yang lalu masalah sosial ini belum mendapatkan solusi terbaiknya. Masih saja angka pengangguran di negeri yang memiliki kekakayaan alam berlimpah terbilang cukup tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) yang melakukan survei tenaga kerja setiap bulan Februari dan Agustus setiap tahunnya menunjukan kepada kita bahwa, angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja 102,55 juta jiwa. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9,43 juta jiwa (8,46 persen).

Pengangguran terbuka didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 17,26 persen dari jumlah penganggur. Kemudian disusul lulusan Sekolah Menengah Atas (14,31 persen), lulusan universitas 12,59 persen, diploma 11,21 persen, baru lulusan SMP 9,39 persen dan SD ke bawah 4,57 persen. Angka tersebut menjelaskan bahwa pengangguran berpendidikan di negeri ini terbilang cukup tinggi dan perlu bersama-sama merumuskan solusi terbaik untuk mengatasi pengangguran yang bila tidak diatasi secara bijak dapat menimbulkan masalah social yang lebih besar lagi. Karena selalu saja ada hubungan antara tingkat kriminalitas dengan banyaknya orang menganggur dan kemiskinan.

Media memprediksi pada tahun 2010 jumlah pengangguran di Indonesia semakin meningkat, menjadi 10 persen dari total penduduk. Salah satunya disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda dunia menyebabkan perusahaan-perusahaan asing hengkang dari Indonesia dan menimbulkan PHK besar-besaran. Semakin menambah deretan masalah penyebab kemiskinan di negeri ini.

Ada tiga (3) hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja sehingga menjadi pengangguran, yaitu hambatan kultural, mutu dan relevansi kurikulum pendidikan, dan pasar kerja. Hambatan kultural menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara masalah kurikulum pendidikan adalah belum adanya mutu dan relevansi kurikulum pengajaran di lembaga pendidikan tinggi yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian sumber daya manusia (SDM) yang sesuai kebutuhan dunia kerja.

Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Namun fakta cenderung menunjukkan, sistem pendidikan Indonesia jauh lebih produktif dalam mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Hasilnya banyaknya pengangguran terdidik yang menuggu pekerjaan ketimbang membuat pekerjaan (berwiraswasta), salah satu sikap mental anak bangsa yang perlu dibenahi.

Permasalahan
Banyaknya pengangguran kaum intelektual di negeri ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di negeri ini belum mampu mencetak generasi usia produktif yang unggul. Karena erat kaitannya antara pendidikan dan cara pandang seseorang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik dengan bekerja kepada orang lain ataupun dengan menciptakan pekerjaan sendiri yang justru mampu memberikan pekerjaan kepada orang lain. Sehingga tulisan ini mencoba untuk membahas bagaimana solusi mengatasi sarjana atau kaum terdidik yang menganggur di Indonesia yang setiap tahun selalu saja meningkat seiring dengan semakin banyaknya perguruan tinggi melakukan wisuda para sarjananya.

Paradigma
1. Qur’an surat Ar Ra’d ayat 11: “ Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
2. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan :” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
3. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
4. Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia, di dalam pasal 25(1) disebutkan: “Setiap orang berhak atas hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan sosial pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut, atau mengalami kekurangan mata pencaharian yang lain karena berada di luar kekuasaannya.

Kebijaksanaan

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang paling utama. Orang yang tak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang belum bisa terselesaikan oleh pemimpin bangsa ini. Tapi lebih ironis bila angkatan kerja yang menganggur tersebut banyak yang berasal dari kalangan sarjana atau masyarakat terdidik.

Masyarakat dunia melihat pola pengangguran di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sebagai fenomena unik. Sebab, ternyata tingkat pengangguran lebih banyak ditemukan di kalangan mereka yang mengenyam pendidikan tinggi dan didominasi oleh kaum muda produktif. Sehingga adanya fenomena ini menjadi tanda tanya besar bagi kita apa yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Padahal dari segi sumber daya alam Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya melimpah, bahkan terbilang cukup lengkap. Wilayah lautannya yang membentang dari ujung Pulau Sumatra hingga Papua menyimpan kekayaan kelautan yang melimpah.

Ditambah lagi hasil tambang berupa minyak dan gas bumi, serta barang tambang lainnya tersimpan kokoh diperut bumi Indonesia. Di latar belakang, telah disinggung bahwa ada tiga ( 3) hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan budaya, mutu dan relevansi kurikulum pendidikan, dan pasar kerja atau lapangan pekerjaan. Hambatan budaya menyangkut sikap seseorang terhadap pekerjaan dan etos kerja.

Sementara masalah kurikulum pendidikan adalah belum adanya mutu dan ketepatan kurikulum pengajaran di lembaga pendidikan tinggi yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian sumber daya manusia (SDM) yang sesuai kebutuhan dunia kerja dalam menghadapi era globalisasi. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja dan juga sebagai akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang memadai di Indonesia dalam menampung angkatan kerja yang melimpah. Berlatar belakang ke tiga hal tersebut itulah, akan dibahas solusi atau strategi yang dapat diterapkan dalam mengatasi sarjana menganggur di Indonesia

1. Budaya
Mayoritas masyarakat Indonesia memiliki budaya malas untuk belajar dan membaca. Hal ini tentu saja semakin menambah daftar kekurangan bangsa ini, padahal banyak belajar dan membaca merupakan salah satu ketentuan yang harus dilakukan karena telah ditetapkan di dalam Al Quran sebagai salah satu kitab suci terbesar yang dimiliki oleh masyarakat muslim di Indonesia. Belajar dan banyak membaca juga menjadi ciri khas dari negara maju yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya terbilang cukup tinggi seperti negara Jepang dan negara-negara maju di Benua Eropa.

Budaya malas membaca dan belajar akan berimplikasi kepada kemalasan seseorang untuk berusaha menjadi lebih baik dan terkesan hanya bersikap pasif, pasrah terhadap keadaan. Inilah kenapa masyarakat yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang luas maka sikapnya terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya kurang bergairah dan terkesan menunggu pekerjaan tanpa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri.

Jika semangat belajar dan membaca yang tinggi di masyarakat Indonesia menjadi budaya maka tidak mustahil permasalahan pengangguran di negeri ini dapat teratasi dengan baik. Karena masing-masing individu akan berusaha melakukan apapun, berpikir dan berbuat yang halal tentunya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Mengutip pernyataan John F. Kennnedy, salah satu dari sekian presiden Amerika Serikat, Ia mengatakan bahwa “ jangan tanyakan apa yang negara lakukan untukmu tapi tanyakan apa yang engkau lakukan untuk negaramu”. Pernyataan ini memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya masyarakat jangan terlalu berharap terhadap negara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi berusahalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri tanpa harus selalu tergantung dari negara. Walaupun salah satu fungsi negara adalah memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi warganegaranya.

Di Indonesia, budaya untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pilih-pilih pekerjaan di kalangan sarjana masih tinggi, ketimbang budaya berwiraswasta. Sehingga sikap ini lah yang menjadi salah satu penyumbang angka pengangguran ditingkat sarjana cukup tinggi. Sehingga perlu ada usaha-usaha intensif dari pemerintah dan tokoh masyarakat untuk merubah pola pikir seperti ini. Ditambah lagi, jenjang pendidikan tinggi sebagai jaminan memperoleh pekerjaan yang baik ternyata menjadi doktrin bagi kebanyakan masyarakat kita.

Pandangan ini dalam banyak hal turut memperparah banyaknya lulusan Perguruan Tinggi (PT) yang tidak bekerja. Kita menyaksikan bagaimana para sarjana masih terus disibukkan persoalan mencari kerja, sementara ketersediaan lapangan kerja makin sempit.

2. Mutu Dan Relevansi Kurikulum Pendidikan
Fakta cenderung menunjukkan, sistem pendidikan Indonesia jauh lebih produktif dalam mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Seperti banyaknya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang membuka jalur ekstensi dan D3, meski kenyataannya kampus tersebut tidak memiliki sarana pendidikan dan dosen yang sebanding dengan jumlah mahasiswanya. Sedangkan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) lebih kepada penghematan pengeluaran untuk dana pendidikan karena takut mahasiswa terbebani uang kuliah terlalu tinggi. Tindakan ini mengakibatkan PT sekadar mesin penghasil ijazah ketimbang manusia yang memiliki kematangan ilmu dan kemandirian.

Akibatnya negara Indonesia memiliki ribuan kaum terdidik yang tidak profesional dan tidak berjiwa enterpreneur. Kemajuan suatu bangsa bisa dilihat dari geliat perekonomian yang ada didalamnya, dan perekonomian hanya bisa digerakan oleh orang-orang yang memiliki jiwa untuk berkreasi dan berinovasi. Tanpa itu semua mustahil suatu bangsa akan bisa maju.

Oleh karena itu sistem pendidikan di negeri ini harus dirubah, yaitu dengan cara lebih menekankan kepada pendidikan yang mencetak para wiraswasta atau enterpreneur muda ketimbang para pekerja muda atau para pegawai negeri. Caranya bisa dengan merubah kurikulum pendidikannya yang lebih berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja dan bisa juga dengan membebankan mahasiswa atau pelajar sebelum menyelesaikan pendidikannya dengan kewajiban membuat suatu usaha atau kegiatan yang bernilai materi. Hal tersebut tentunya akan melatih pelajar dan mahasiswa untuk berpikir kritis membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan.

Sistem pendidikan di Indonesia ternyata masih menghasilkan lulusan yang kemandirian dan semangat kewirausahaannya rendah. Sebagian besar lulusan pendidikan kita hanya bisa menjadi buruh atau karyawan. Persentase yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan bahkan mempekerjakan orang lain masih sedikit. Seorang sarjana harus mampu berpikir konstruktif, kreatif dan inovatif. Sarjana harus menjadi pelopor, tak menunggu kesempatan.

Namun, kenyataannya tak semua sarjana mempunyai pemikiran seperti Ini. Tidak ada negara maju yang pendidikannya mundur, dan tak ada pendidikan mundur yang mampu memajukan negara. Jika Indonesia ingin menjadi negara maju, benahilah sistem dan metode pendidikannya. Mulai yang paling kecil dan dilakukan sekarang juga. Perlu dicatat, ada semacam dilema dalam penyelenggaraan pendidikan di PT, yaitu antara memenuhi permintaan pasar atau bertahan dalam proses pendidikan tinggi yang ideal. Permintaan pasar dipenuhi perguruan tinggi dengan membuka program studi yang laku di pasar tenaga kerja.

Berdasarkan pengamatan, saat ini program studi yang permintaannya cukup tinggi adalah manajemen informatika, teknologi informasi dan komunikasi serta broadcasting. Maka, PT berlomba-lomba membuka jurusan atau program studi tersebut. Namun, terkadang PT mengabaikan kompetensinya. Misalnya, sebuah PT berani membuka program studi teknologi informasi, padahal tak mempunyai tenaga ahli tetap untuk bidang tersebut.

Ini banyak terjadi di berbagai PT. Alhasil, lulusan dari program studi itu tak memiliki bekal ilmu yang cukup sehingga menjadi sarjana tak berkualitas. Alasan utama sebuah PT melakukan jalan pintas seperti itu adalah demi bertahan hidup dan memperluas bisnisnya. PT sekarang mempunyai paradigma sebagai unit bisnis yang harus menghasilkan keuntungan (profit oriented). Maka, orientasinya menghasilkan keuntungan, jumlah mahasiswa harus banyak. Mereka berbuat demikian karena dituntut bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya.

Muncullah image di Indonesia bahwa pendidikan tinggi adalah sebuah pabrik pendidikan. Sehingga perlu ada perubahan kualitas sistem dan metode pendidikan, dosen, kesejahteraan tenaga pendidik, metode mengajar, dan infrastrukturnya. Dalam banyak hal patut kita cermati, peningkatan kualitas pendidikan adalah sebagai titik penentu yang mempertinggi kesempatan orang-orang terdidik memperoleh pekerjaan. Itulah masalah yang perlu kita atasi segera.
3. Pasar Kerja atau Lapangan Pekerjaan.
Pasar kerja yang tersedia di negeri ini umumnya banyak yang tidak sesuai dengan bidang keahlian yang digeluti oleh para sarjana. Ditambah lagi dengan lulusan PT yang tidak mampu berkompetisi dan tidak diterima oleh pasar kerja sebagai akibat kualitas lulusan yang buruk. Belum lagi jumlah lapangan pekerjaan yang minim harus diperebutkan oleh ribuan sarjana yang mencari kerja. Sehingga solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah pemerintah bersama-sama masyarakat membuat program yang melibatkan para sarjana agar dapat diberdayagunakan untuk membangun perekonomian rakyat.
Sebagai contoh adanya program Sarjana Penggerak Pedesaan (SPP), program ini sangat positif apabila dijalankan sesuai koridor yang berlaku dan adanya pengawasan yang insentif dari pemerintah penyalur sarjana ke desa-desa. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah terlebuh dahulu memberikan penyuluhan dan standar-standar pekerjaan yang harus dilakukan oleh para sarjana tersebut agar tidak terkesan tidak tahu mau berbuat apa. Dan juga melakukan kerjasama dengan negara asing atau perusahaan asing untuk menggunakan para sarjana terbaik lulusan dari Indonesia untuk bekerja di negara atau perusahaannya kemudian menerapkan ilmu yang di dapatnya untuk pembangunan di Indonesia.

Solusi lain yang bisa diterapkan untuk mengatasi lapangan pekerjaan yang minim adalah dengan memberikan kemudahan seorang sarjana atau lulusan PT dalam memperoleh pinjaman modal dengan bunga ringan untuk mengembangkan suatu usaha produktif.
 
Kesimpulan

Masalah pengangguran kaum sarjana merupakan masalah kita semua, yang disebabkan oleh beberapa aspek yang telah disebutkan di atas. Sehingga jika ingin mengurangi sarjana menganggur di negeri ini, ketiga hal tersebut yang menjadi penyebab sarjana menganggur harus ditangani dengan bijaksana, baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara bersama-sama. Karena semua kebijakan pemerintah akan efektif bila para aparat pemerintah dan masyarakat saling bahu membahu melaksanakan kebijakan tersebut dengan solid dan terpadu.

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa strategi yang dapat dilakukan dalam mengatasi sarjana menganggur adalah:

1. Tanamkan jiwa belajar dan membaca kepada para sarjana untuk merubah pola pikir (mindset) mereka terhadap pekerjaan atau pemenuhan kebutuhan hidup.
2. Menggiatkan penyuluhan kepada para sarjana atau para intelektual untuk lebih berorientasi menciptakan pekerjaan ketimbang mencari kerja atau menjadi pegawai negeri.
3. Merubah sistem pendidikan di Indonesia yang dapat menghasilkan lulusan-lulusan berkualitas dan siap untuk menduduki suatu pekerjaan sesuai dengan keahlian dan ilmunya.
4. Menanamkan jiwa enterpreneur beserta prakteknya sebelum pelajar atau mahasiswa menamatkan pendidikanya di PT.
5. Menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan memperbanyak lobi-lobi politik ke negara maupun perusahaan asing.
6. Memberdayakan para sarjana untuk mengembangkan daerah pedesaan serta memberikan kredit modal usaha dengan bunga ringan agar mereka mampu menciptakan sumber usaha produktif.

Saran
Saran yang dapat diberikan penulis dalam mengatasi permasalahan ini adalah dengan cara pemerintah bersama masyarakat menjalankan kebijakan dan strategi yang telah dibuat dengan optimal. Karena tanpa ada dukungan dari masyarakat maka mustahil kebijakan mengatasi pengangguran intelektual dapat terlaksana dengan efektif.
Intinya semangat untuk berwiraswasta perlu ditanamkan sejak dini kepada para sarjana mupun para calon sarjana sebelum mereka lulus dari dunia pendidikan formal serta merubah sistem pendidikan Indonesia dari yang mencetak para pekerja beralih kepada pencetak enterpreneur muda.

Daftar Pustaka
Hoogvelt, Ankie M.M. (1995). Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. (2006). Kebijakan Publik: Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: Elex Media Kompetindo
www.tempointeraktif.com

Minggu, 24 Oktober 2010

Rumah Di Pinggir Sungai

Rumah Di Pinggir Sungai
Senin, 25/10/2010 06:49 WIB | email | print | share
http://www.eramuslim.com/oase-iman/abdul-mutaqin-rumah-di-pinggir-sungai.htm
Oleh Abdul Mutaqin

“Ayah, mengapa rumah kita di tepi sungai? Riskan jika banjir datang”.

“Benar anakku. Tapi lihatlah. Jernih sekali airnya. Kita bergantung hidup dari sungai ini. Dapur kita mengepul setiap hari karena rizki dari Tuhan yang melimpah di airnya. Dengan mata kail dan jala kita menangkap ikan. Atau jika kita sedikit malas, kita cukup memasang bubu lalu ikan datang sendiri pada kita”.

”Tapi, sumber kehidupan bukan hanya dari sungai, bukan?”

”Benar sekali. Rezeki Tuhan seluas langit dan bumi”.

”Kalau begitu, mengapa kita tidak tinggal di kota saja?”

”Apakah kamu mengira di kota tidak akan banjir?”

”Apakah begitu?”

”Bahkan di kota, banjir bisa datang rutin setiap tahun anakku”.

”Ayah, jika memang ayah tidak mau pindah rumah di pinggir sungai ini, bagaimana jika sungainya saja yang kita dipindahkan dari pandangan kita?”

”Caranya?”

”Kita bergerak menjauh dari tepiannya”.

”Tidak perlu anakku. Ayah punya cara yang lebih bijak menghadapi kekhawatiranmu atas banjir. Kita tidak perlu pindah dari tepian sungai karena kita bergantung hidup di sini. Bukan ayah tidak ingin hidup di kota, tapi ayah tidak punya keahlian untuk menghadapi kerasnya kehidupan kota. Keahlian yang ayah miliki hanyalah menangkap ikan. Sungai adalah jiwa ayah. Jala dan kail adalah teknologi ayah. Kita juga tidak perlu memindahkan sungai ini dari depan rumah kita karena hal itu mustahil.”

”Lalu, apa yang ayah lakukan untukku supaya kelak aku bisa selamat dari banjir”.

”Yang pasti bukan memindahkan sungai itu, namun, ayah akan mengajarmu mahir berenang”.

-----

Saya agak terkejut, seorang wali siswa bercerita terus terang telah menemukan VCD porno pada lipatan baju di kamar anaknya; siswa saya. Biasanya, hal-hal semacam itu diumpetin oleh orang tua dari pendengaran para guru atau wali kelas anaknya. Bahkan sebaliknya, dalam banyak kasus, ada sebagian orang tua yang terus berupaya membentuk citra bahwa anaknya baik dan penurut saat diperlukan kehadirannya di sekolah. Maaf, bahkan ada yang tidak sungkan menyalahkan bahwa guru telah salah mengambil sikap atas anaknya. Nyata sekali bahwa sikap itu tidak lebih hanyalah pembelaan atas pelanggaran disiplin yang dilakukan anak mereka di sekolah.

Memberlakukan aturan yang ketat dan kaku oleh sekolah juga bukanlah cara yang tepat, tetapi terlalu longgar dan terlalu banyak toleransi juga bisa menjadi bumerang. Seringkali terjadi, siswa membawa kebiasaan dari lingkungan keluarga dalam interaksi mereka di kelas atau di sekolah.

Di sinilah sering terjadi kesenjangan sikap antara guru dan orang tua yang menimbulkan mispersepsi. Saya bahkan pernah geleng-geleng kepala mendengar cerita teman saya di satu sekolah bergengsi, begitu protektifnya orang tua yang mengerti hukum, menakut-nakuti guru olahraga akan dilaporkan ke komisi HAM hanya karena anaknya disuruh push up sebab tidak mengikuti aturan saat olah raga. Menggelikan. Hal ini tentu tidak boleh terus terjadi dalam konteks pendidikan yang menjadi tanggungjawab bersama.

Adalah hal yang sangat menggembirakan apabila pengalaman mendiskusikan soal anak didik dalam satu visi yang sama. Seperti yang saya jumpai pada sabtu kemarin. Bahkan saya sangat appreciate atas kejujuran orang tua itu soal VCD porno itu. Menurutnya, anaknya dalam masalah besar. Saya tegaskan, bahwa hal ini adalah masalah kita bersama. Hanya saja, orang tua dan guru yang paling resah jika persoalan ini dialami anak-anak kita.

Saya menganggap, bahwa setiap orang tua saat ini seperti mendiami rumah di pinggir sungai seperti illustrasi di awal tulisan ini. Rumah merupakan representasi dari nilai-nilai tertutup yang secara idiologis diturunkan kepada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Rumah adalah media privat tempat menanamkan nilai-nilai kebajikan berdasarkan keyakinan kepala keluarga kepada isteri dan anak-anaknya. Dari rumah inilah transformasi nilai-nilai itu dimulai dan akan membentuk karakter para penghuninya. Wajar jika kemudian rumah dianggap sebagai sekolah pertama bagi anak dan kedua orang tua adalah guru utamanya.

Sedangkan sungai adalah wilayah publik yang bebas nilai. Segala macam nilai atau idiologi hidup mengalir di situ, baik yang menguntungkan maupun yang bersifat ancaman. Teknologi informasi adalah salah satu nilai yang mengapung di sungai kehidupan yang dalam dan deras itu. Ia bisa menjadi jendela informasi yang mengantarkan pada kecerdasan. Tetapi juga bisa menjadi senjata perusak moral sebagaimana bencana banjir yang merusak dan mengancam keselamatan hidup orang banyak.

Setiap orang tua atau guru hampir mustahil membendung laju teknologi. Rasanya tidak mungkin membuat jurang pemisah yang memutus interaksi anak dengan berbagai kemajuan teknologi informasi di era modern ini. Sangat tidak mungkin, sedangkan akses layanan internet bisa mereka peroleh di mana saja dan kapan saja. Bahkan di WC pun mereka bisa connecting dan mengubah status Facebook atau Twitternya dari Black Berry milik mereka. Mustahilnya memutus mereka dari kenyataan ini, sama mustahilnya dengan usaha memindahkan sungai dari depan rumah hanya karena takut akan bahaya banjir. Maka menanamkan nilai-nilai akhlak, memperkuat basis ibadah, mengajarkannya tanggungjawab pada diri sendiri dan kepada Allah serta kepatuhan pada agama dan keyakinan menjadi senjata yang bisa menyelamatkan mereka dari pengaruh buruk teknologi. Pendek kata, taqwa seperti kemahiran berenang di tengah arus budaya zaman yang makin menggila. Bagaimanapun saat bencana banjir datang, semua orang bisa mati tenggelam. Tetapi yang mahir berenang berpeluang lebih besar bisa menyelamatkan dirinya dari tenggelam.

Wajarlah, mengapa agama mengingatkan para orang tua dan murabbi agar sejak dini mengajarkan ibadah kepada generasi di bawahnya. Terutama salat, karena ia benteng dari perbuatan keji dan munkar. Bahkan Rasul membolehkan ”pukulan” pendidikan jika dalam usia 10 tahun mereka enggan mendirikan salat.

Allahu a’lam.

---

Betapa indahnya rumah di tepi sungai. Seperti illustrasi cerdas Kanjeng Rasul dalam riwayat Imam al Bukhari:

Dari Abu Hurairah, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian, lalu dia mandi lima kali setiap hari? Apakah kalian menganggap masih akan ada kotoran (daki) yang tersisa padanya?" Para sahabat menjawab, "Tidak akan ada yang tersisa sedikitpun kotoran padanya." Lalu beliau bersabda: "Seperti itu pula dengan shalat lima waktu, dengannya Allah akan menghapus semua kesalahan."

Depok, oktober 2010.

abdul_mutaqin@yahoo.com

Alarm EmOsi…

Oleh Abu tabina
Seorang pembicara di salah satu radio swasta di bumi sriwijaya pernah membahas sebuah tema menarik, Alarm eMosi…ya alarm emosi.

Alarm biasanya digunakan sebagai pengingat bagi penggunanya akan apa yang harus ia lakukan ketika alat ini berbunyi, dan waktunya telah ditentukan sebelumnya sesuai keinginan pengguna..

Alarm yang biasa kita kenal sebagai bagian dari salah satu alat penanda kemajuan teknologi ternyata berbeda dengan alarm yang satu ini. Alarma emOsi. Bukan buah dari kemajuan teknologi tetapi buah dari hati yang bersih dan peka.

Alarm emosi adalah alarm yang berupa perasaan negatif. Perasaan negatif itu muncul sebagai penanda yang memberitahukan kepada kita bahwa ada yang keliru dalam diri kita (beda dengan perasaan positif). Allah memberikan kita anugerah berupa perasaan negatif dan positif yang selalu ada dalam diri manusia.

Alarm emosi merupakan perangkat yang ada di dalam rohani kita. Rohani sama seperti tubuh secara fisik, ia juga bisa merasakan sakit dan bisa merasakan sehat. Rohani tidak lepas dari masalah hati. Rohani dan hati merupakan dua makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Allah secara khusus untuk manusia. Beruntunglah bila hati kita masih merasakan sakit, menyesallah bila hati kita telah mati, dan berbahagialah bila hati kita sehat.

Perasaan negatif yang ada dalam diri kita bisa muncul disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Kemunculannya disebabkan oleh ibadah kita yang kurang benar
2. Pekerjaan yang tidak dilakukan dengan baik
3. Ada janji yang kita lupakan, sementara orang tempat kita berjanji masih tetap ingat
4. Tidak memaafkan kesalahan orang lain maupun kesalahan diri kita pribadi.
5. Kita melakukan perbuatan maksiat meskipun itu sesuatu yang kecil.

Ketika alarm itu berbunyi atau perasaan negatif itu muncul di hati kita, lakukanlah introspeksi untuk mengetahui apa kesalahan yang kita lakukan. Jangan pernah melakukan pembenaran atas kesalahan yang kita lakukan. Semoga dengan banyaknya kita mengintrospeksi diri kita dapat berdampak semakin halus dan pekanya perasaan kita, sehingga mampu mendeteksi sekecil apapun bentuk kesalahan yang kita lakukan.

Banyak diantara kita yang tidak sadar akan dosa atau kesalahan yang kita lakukan, Bersyukurlah kita bila masih diberikan kepekaan hati dan masih mendengar alarm emosi kita berbunyi. Sehingga kita berkesempatan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kita perbuat secara sengaja maupun tidak disengaja....

PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI KEBIJAKAN HIBAH PENGEMBANGAN TERNAK SAPI PENGGEMUKAN DI KABUPATEN BINTAN

Oleh Abu tabina

Latar Belakang
Pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan sistem agribisnis nasional menjadi bagian penting dalam mewujudkan ketahananan dan swasembada pangan bagi 230 juta lebih jumlah penduduk Indonesia. Khususnya kebutuhan akan protein hewani seperti daging, susu dan telur. Selain itu, Iwan Berri Prima (www.detik.com) menulis, peran pembangunan peternakan nasional juga sangat signifikan sebagai sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 3,15 juta orang dan mampu menghidupi lebih dari 10 juta orang masyarakat Indonesia dengan investasi pada tahun 2007 tidak kurang dari Rp 4,5 triliun.

Sektor peternakan diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 mencapai 37,17 juta jiwa, tahun 2008 menurun menjadi 34,96 juta jiwa dan tahun 2009 menjadi 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan jika tahun-tahun berikutnya bukan semakin menurun jumlah penduduk miskin di Indonesia tetapi justru mengalami peningkatan ketika Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri apalagi dengan adanya krisis global yang melanda hampir semua Negara di dunia (www.detik.com).

Negara Indonesia yang merupakan Negara agraris beriklim tropis sangat layak untuk dijadikan salah satu Negara yang mengedepankan sektor peternakan dalam rangka mensejahterakan penduduknya. Sesuai dengan amanat pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan dasar Negara Republik Indonesia ini berdiri. Salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian RI adalah program penggemukan sapi potong. Salah satu sumber protein nabati yang dapat diperbaharui, daging sapi menjadi menu andalan bagi masyarakat Indonesia khususnya yang beragama muslim.

Permintaan akan sapi potong dari tahun ketahun meningkat secara tajam. Sehingga memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan impor sapi dari Negara lain. Kebijakan impor dilakukan dalam rangka mendukung kekurangan produksi dalam negeri. Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton. Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1,18 juta ekor.

Sementara itu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) tahun 2007 mencatat, setiap tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan sekitar 1,72 juta ekor sapi potong. Dari jumlah tersebut hingga saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30% daging sapi dalam bentuk daging beku dari Australia maupun sapi hidup untuk memenuhi permintaan daging sapi yang masih mengalami kekurangan di dalam negeri.

Mayoritas di setiap daerah terutama yang memiliki keadaan geografis yang cocok untuk hidup sapi, memiliki program penggemukan sapi potong. Program tersebut merupakan salah satu bentuk program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu daerah yang melaksanakan program tersebut adalah Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bintan yang terletak di Provinsi Kepulauan Riau.

Meskipun Kabupaten Bintan wilayahnya sebahagian besar terdiri dari lautan tetapi program tersebut merupakan salah satu program yang peruntukannya untuk masyarakat petani atau peternak. Jika dilihat dari jenis mata pencaharian dilihat dari aspek kesukuan, maka mayoritas petani/peternak adalah suku jawa dan suku pendatang lainnya, sedangkan mayoritas nelayan adalah suku melayu atau suku asli Kabupaten Bintan.
Sehingga program penggemukan sapi dipilih oleh pemerintah dengan latar belakang kondisi geografis kabupaten bintan yang layak untuk hidup sapi dan pangsa pasar daging sapi terbuka lebar, dikarenakan permintaan akan daging sapi terutama dalam skala domestik setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Apalagi kebijakan penggemukan sapi potong sudah berjalan cukup lama yaitu sejak tahun 1998 dan banyak manfaat yang diperoleh oleh masyarakat peternak tradisional di Kabupaten Bintan khususnya masyarakat golongan menengah kebawah sehingga tidak salah jika program ini dilanjutkan pada tahun 2010.

Permasalahan
Program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bintan sebenarnya terdiri dari berbagai macam program selain dari program penggemukan sapi potong, ada yang bergerak di Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan program one vilage one product ( satu desa satu produk), Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri, pelatihan keahlian dan keterampilan masyarakat produktif, pemberian kredit lunak, bantuan perahu dan alat tangkap ikan bagi nelayan, rehabilitasi rumah kumuh dan lain sebagainya.

Kesemuanya merupakan program yang dicanangkan pemerintah dalam rangka mengurangi dan mengayomi penduduk miskin di Kabupaten Bintan. Tulisan ini akan membahas salah satu kebijakan pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bintan yaitu kebijakan program penggemukan sapi potong.
Program ini merupakan program turunan dari pemerintah pusat, seringnya program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat terjadi masalah ketika diimplementasikan di daerah. Seperti halnya program penggemukan sapi potong di kabupaten Bintan, permasalahan timbul ketika para peternak kesulitan mendapatkan pakan ternak konsentrat yang produksinya sangat kurang di daerah lokal sehingga harus didatangkan dari daerah lain serta tidak terukur berapa persentase tingkat penurunan masyarakat miskin melalui kebijakan program penggemukan sapi potong. Kenyataan menunjukan masih adanya penduduk miskin yang mendiami desa-desa di Kabupaten Bintan.

Tulisan ini akan membahas berkaitan efektivitas program penggemukan sapi potong terhadap penurunan masyarakat miskin di Kabupaten Bintan

Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui manfaat kebijakan program penggemukan sapi potong bagi penurunan rumah tangga miskin para peternak di Kabupaten Bintan.
2. Mengetahui efektivitas kebijakan program penggemukan sapi potong di Kabupaten Bintan
3. Mengetahui mekanisme kebijakan program penggemukan sapi potong.
Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1. Sebagai masukan untuk pemerintah daerah Kabupaten Bintan berkaitan dengan efektivitas pelaksanaan program penggemukan sapi potong di Kabupaten Bintan.
2. Untuk pengembangan pribadi penulis dengan menyumbangkan pengetahuan kepada khalayak ramai.


TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Penggemukan Sapi Potong

Definisi kebijakan banyak ditemui di kepustakaan Administrasi Negara. Namun, harus diakui bahwa definisi yang ada bukanlah definisi yang benar-benar memuaskan, sangat sulit untuk mencari definisi kebijakan yang memuaskan disebabkan sifatnya yang sangat luas, kabur, atau tidak spesifik. Dibawah ini akan dituliskan beberapa definisi dari kebijakan:
Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (1996).
“Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak”.
Sementara menurut Heintz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam buku Charles O. Jones mendefinisikan kebijakan sebagai “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut (1996).
Menurut Edi Suharto (2005: 7).
“Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu”.
Menurut Titmuss dalam Edi Suharto (2005: 7).
“Kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu”.
Public Policy adalah rangkaian panjang pilihan-pilihan yang kurang lebih berhubungan, termasuk keputusan untuk tidak berbuat, yang dibuat oleh kantor-kantor atau badan-badan pemerintah (Dunn, 2001).
Dari berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para ahli dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan merupakan tindakan terencana yang diambil oleh pemerintah dalam mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan.

Pada dasarnya sesuai dengan peraturan Bupati Kabupaten Bintan Nomor 3l tahun 2009 tentang Petunjuk pelaksanaan bantuan hibah pengembangan ternak sapi penggemukan Kabupaten Bintan tahun 2009. Kebijakan penggemukan sapi potong di Kabupaten Bintan menurut peraturan tersebut diperuntukan bagi masyarakat peternak yang telah dipilih secara selektif oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bintan berdasarkan tingkat perekonomiannya. Sehingga kebijakan yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan pilihan yang diambil oleh pemerintah dalam hal penanggulangan kemiskinan yang peruntukannya bagi masyarakat peternak golongan menengah kebawah.

Efektifitas kebijakan
Anthon (2003: 30) mengungkapkan, Efektifitas (efektivity) atau efek (efect) berarti suatu kebijakan atau program harus memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah atau kemampuan untuk mencapai tujuan. Di bawah ini merupakan pengertian efektifitas menurut beberapa orang ahli:
a. Shaun Tyson & Tony Jackson (1992: 230).
“Efektifitas dapat didefinisikan sebagai kecakapan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah. Dengan dasar efektifitas adalah intergrasi.”
b. Richard M. Steers (1985: 54)
“Efektifitas adalah memadukan faktor-faktor organisasi seperti struktur dan teknologi, dan faktor individu seperti motivasi, rasa keterikatan, dan prestasi kerja.”
c. The Liang Gie (1982: 108)
“Efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki kalau seseorang melakukan tindakan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki maka orang dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau maksud yang dikehendaki.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah apabila hasil yang didapat baik berupa materi maupun non materi sesuai dengan perencanaan. Efektif atau tidaknya suatu kebijakan dapat dilihat dari pencapaian tujuannya. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bintan akan efektif bila tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik yakni berkurangnya masyarakat miskin di Kabupaten Bintan melalui kebijakan penggemukan sapi potong.

PEMBAHASAN
Pelaksanaan Program Penggemukan Sapi
Kabupaten Bintan, merupakan daerah yang mengandalkan sektor pertanian dan pariwisata dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) disamping barang tambang. Program penggemukan sapi sudah berjalan sejak tahun 1998 sebagai bagian dari kebijakan Pemda Kabupaten Bintan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan masyarakat dengan menggunakan dana perguliran dan APBD Pemkab Bintan. Pada tahun 2009, kebijakan tersebut secara rinci dijabarkan dalam peraturan Bupati Kabupaten Bintan nomor 3l tahun 2009 tentang Petunjuk pelaksanaan bantuan hibah pengembangan ternak sapi penggemukan Kabupaten Bintan tahun 2009.

Ada beragam program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bintan yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan oleh pemerintah pusat, PNPM Mandiri, program one vilage one product ( satu desa satu produk), bantuan kredit lunak bagi para nelayan dan petani, hibah atau bantuan kredit perahu bagi para nelayan serta program penggemukan sapi potong. Mayoritas semua dinas di Pemda Kabupaten Bintan memiliki program pengentasan kemiskinan. Kesemua program pengentasan kemiskinan tersebut, memberikan manfaat positif bagi penurunan jumlah keluarga miskin di Kabupaten Bintan.

Kabupaten/Kota Jumlah
Batam 33.408 KK
Bintan 10.211 KK
Natuna 8.820 KK
Karimun 7.717 KK
Lingga 7.147 KK
Tanjungpinang 6.376 KK

  Tabel 1: Sebaran Penduduk Miskin tahun 2007 di Provinsi Kep. Riau
Pada Tabel 1 terlihat bahwa, jumlah penduduk miskin di Bintan pada tahun 2007 terbanyak kedua se Provinsi Kepulaun Riau setelah Kota Batam. Adanya program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bintan ternyata berperan siginifikan dalam mengurangi jumlah masyarakat miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Riau mencatat, jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi berada diangka 10.208 KK, dan terjadi penurunan kembali pada tahun 2009 yaitu berada di angka 8.470 KK.

Penurunan jumlah KK miskin dalam bentuk angka ini menjadi acuan pemerintah apakah program yang dilaksanakan itu berhasil atau tidak. Kekurangannya adalah tidak adanya data secara jelas dan rinci program mana yang paling efektif dalam mengurangi masyarakat miskin, karena sepertinya semua program tersebut berperan secara bersama-sama dalam mengurangi kemiskinan di Kabupaten Bintan.
Keberhasilan tahun-tahun sebelumnya dalam program penggemukan sapi potong mendorong pemda untuk melaksanakan hal serupa dengan target penggemukan sapi mencapai 1000 ekor pada tahun 2010 yang dibagikan kepada masyarakat peternak di Kabupaten Bintan dengan system bagi hasil. Surat kabar lokal Tribun Batam menyebutkan 1000 ekor sapi tersebut dialokasikan ke 7 kecamatan yang ada di Kabupaten Bintan yaitu; Bintan Utara 219 ekor, Teluk Sebong 137 ekor, Teluk Bintan 74 ekor, Gunung Kijang 155 ekor, Bintan Timur 225 ekor, Toapaya 105 ekor dan Sri Kuala Lobam sebanyak 85 ekor.

Satu ekor sapi bisa menghasilkan jutaan rupiah kepada para peternak. Mereka cukup memelihara sapi berumur 1,5 tahun dengan berat 100 kg seharga 4,5 juta yang dikirim dari Pulau Jawa. Dalam waktu tidak terlalu lama 6-8 bulan, melalui program penggemukan (pakan ternak konsentrat), sapi tersebut dapat bertambah beratnya hingga mencapai 300 kg dan dijual seharga 7-9 juta rupiah. Dengan pembagian, 80 persen dari keuntungan diambil oleh masyarakat sedangkan 20 persen diberikan kepada pemerintah untuk diputar kembali.

Sementara modal awal dikembalikan kepada pemerintah. Hal ini dilakukan untuk melatih kemandirian masyarakat agar tidak selalu bergantung kepada pemerintah, dengan adanya keuntungan yang besar tersebut dapat dimanfaatkan bagi para peternak untuk mengembangkan kembali peternakannya sehingga tidak perlu lagi mengambl bibit sapi dari luar daerah.

Kebijakan penggemukan sapi potong yang diambil Pemda Kab. Bintan merupakan bentuk kebijakan dalam mengurangi penduduk miskin terutama miskin dalam pengertian ekonomi yang menurut Rintuh dan Miar (2005;174) mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Harapannya dengan terselesaikannya kemiskinan secara ekonomi akan memudahkan kemiskinan dari dimensi sosial dan moral serta struktural dapat diminimalisir. Imbas bagi pemerintah daerah yaitu akan meningkatkan sumber PAD dari sektor peternakan dan kesejahteraan masyarakat peternak dapat meningkat sehingga mengurangi angka kemiskinan di Kabupaten Bintan.

Program yang dilaksanakan tersebut sebagai bagian dari fungsi pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat dengan memperdayakan potensi SDA dan SDM yang dimilikinya dengan mengembangkan sektor agribisnis. Karena pada dasarnya tugas dari pemerintah adalah mengatur dan mengelola sumberdaya yang ada agar menghasilkan perubahan substansial dalam lingkungan yang belum mapan.

Dengan adanya program penggemukan sapi secara langsung berdampak kepada pemenuhan kebutuhan akan daging khususnya untuk memenuhi pasar domestic provinsi Kep.Riau itu sendiri yang menurut Wakil Bupati Kabupaten Bintan Mastur Taher dalam sebuah harian surat kabar lokal Tribun Batam mengatakan, pasar domestik khususnya di wilayahnya baru terpenuhi 30 persen daging sapi lokal selebihnya masih mengharapkan pengiriman dari daerah lain.

Kebijakan program penggemukan sapi potong merupakan salah satu kebijakan yang mendasarkan kepada potensi kewilayahan. Secara geografis Kab. Bintan memiliki lahan hijau yang luas dengan kondisi alam yang mendukung ditambah lagi bertetangga dengan Negara Singapura dan Malaysia yang tentu saja akan menjadi pangsa pasar potensial ketika pemenuhan pasar domestic akan daging sudah terpenuhi dengan baik. Perkembangan selanjutnya dari program penggemukan sapi tersebut adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat akan bahan bakar khususunya untuk rumah tangga.

Kotoran sapi yang dikumpulkan dan diproses lebih lanjut menjadi salah satu sumber bahan bakar biogas yang bisa dimanfaatkan masyarakat setempat, sebagai pengganti bahan bakar migas yang saat ini mulai beranjak naik seiring kenaikan harga minyak dunia. Lagi-lagi hal ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat yang tergolong miskin dan menengah, khususnya masyarakat yang memanfaatkan teknologi ini, dan tentunya dukungan dari pemda dalam memberikan pengetahuan akan pengolahan dan pemanfaatan biogas menjadi hal yang sangat dibutuhkan.

Selain itu, limbah kotoran sapi tersebut selain dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar biogas juga menjadi salah satu pupuk organik ramah lingkungan yang mampu menyuburkan tanah yang berperan penting dalam meningkatkan hasil pertanian petani.

Kesimpulan
Adanya program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bintan salah satunya berupa program penggemukan sapi potong menurut data BPS Provinsi Kepulauan Riau selama tiga tahun terakhir (Tahun 2007 sebanyak 10.211 KK, Tahun 2008 sebanyak 10.208 KK dan Tahun 2009 sebanyak 8.470 KK) menunjukan angka penurunan meskipun penurunan yang terjadi tidak terlalu ekstrim. Tetapi adanya penurunan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bintan menandakan kebijakan atau program pengentasan kemiskinan yang dilaksankan pemda setempat dinilai berhasil.

Kebijakan program penggemukan sapi potong untuk wilayah Kabupaten Bintan merupakan salah satu program yang dapat dilaksanakan mengingat wilayah Kabupaten Bintan terbilang cukup luas dan potensi pasar yang masih terbuka lebar. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa program penggemukan sapi potong di Kabupaten Bintan dinilai berhasil karena mampu menciptakan iklim wirausaha bagi para peternak dan masyarakat sekitar, dan pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi bahan berguna dalam proses kehidupan masyarakat Kabupaten Bintan merupakan bentuk nyata inovasi yang dilakukannya.

Saran
Saran yang dapat diberikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dalam pelaksanaan program penggemukan sapi potong adalah, agar lebih terus-menerus mengawasi program tersebut supaya tidak terjadi penyimpangan ataupun penyalahgunaan dalam praktek di masyarakat. Mengingat ketidakberhasilan program pemerintah untuk diterapkan di masyarakat disebabkan sikap mental masyarakat Indonesia yang sering menyelewengkan segala bentuk bantuan, hal ini lah yang menyumbangkan peringkat tinggi Negara Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di Asia Tenggara dan dunia.

Selain program penggemukan sapi potong, pemerintah juga perlu mengembangkan beragam program pengentasan kemiskinan yang cocok dengan budaya dan kondisi geografis Kabupaten Bintan, supaya kemakmuran dapat dirasakan merata oleh semua elemen masyarakat Kabupaten Bintan. Meskipun dinilai program penggemukan sapi potong dinilai berhasil tetapi pemerintah daerah diharapkan lebih mengembangkan perekonomian masyarakat disektor perikanan mengingat kondisi geografis Kabupaten Bintan yang berada di Pulau Bintan mayoritas terdiri dari lautan.

Daftar Pustaka

Nurzaman, Siti Sutriah. 2002. Perencanaan Wilayah Di Indonesia Pada Masa Krisis. Bandung: ITB
Jones, Charles O.. (1996). Pengantar Kebijakan Publik. Ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Prima, Iwan Berri. Kebijakan impor daging sapi dan ketahanan pangan. www.detik.com. Diunduh tanggal 20 Februari 2010
Rintuh, Cornelis & Miar. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat edisi pertama. Yogyakarta: BPFE UGM.
Suharto, Edi. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Syafiie, Inu Kencana., Tandjung, Djamaludin. & Modeong, Supardan. (1999). Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta.
Tjokroamidjojo, Bintoro., & A.R., Mustopadidjaya. (1988). Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
www.bintankab.go.id.
www.kepri.bps.go.id.
www.tribunbatam.co.id.

Jumat, 22 Oktober 2010

Pelayanan Listrik Di Indonesia Memprihatinkan Nuklir Salah Satu Solusi

Pelayanan Listrik Di Indonesia Memprihatinkan
Nuklir Salah Satu Solusi

Oleh abu tabina

Latar Belakang

Energi listrik merupakan salah satu sumber energi yang sangat dibutuhkan di era masyarakat modern. Ia menjadi kebutuhan dasar manusia yang harus disediakan oleh Negara sebagai penyedia layanan publik. Dari organisasi terkecil seperti rumah tangga hingga perusahaan terbesar memerlukan energi listrik untuk menjalankan sebahagian besar peralatan elektronik maupun aktivitas proses produksi.

Negeri Indonesia yang dihuni lebih kurang 130 juta orang penduduk setiap hari selalu saja mengeluh dengan adanya krisis listrik, terutama listrik yang dikonsumsi rumah tangga dan sektor Industri kecil yang bersandar kepada pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang selalu membuat ulah dengan pemadaman bergilirnya, tak kenal waktu. Tidak hanya di Sumatera selatan yang terkenal dengan jargon lumbung energinya di Provinsi Kepulaun Riau yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan juga mengalami krisis listrik.

PLN berkelit dengan alasan sumber energi listrik yang ada tidak dapat mencukupi permintaan energi yang mengalami peningkatan setiap tahunnya serta ditambah dengan rusaknya beberapa gardu induk di Indonesia yang otomatis memaksa PLN untuk mengatur secara bergiliran pasokan listriknya ked aerah-daerah. Pelayanan publik di bidang kelistrikan tidak hanya di sepanjang Pulau jawa yang terhambat, tetapi juga merembet ke daerah lainnya sebagai imbas sudah cukup tuanya umur mesin PLN di seluruh Indoneaia dan juga peningkatan konsumsi energi listrik tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas mesin penghasil listrik.

Salah satu ciri khas Indonesia yang kurang cepat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan sebagai bagian buruknya birokrasi dan pelayanan publik. Padahal kebutuhan listrik merupakan ukuran bagi daya beli dan kemajuan ekonomi suatu negara. Bila permintaan listrik tumbuh, berarti ada masyarakat pengguna dan industrinya berkembang.

Sungguh aneh ketika negeri ini memiliki semua sumber listrik yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan tetapi masih saja krisis listrik di negeri ini semakin mengganas. Tentu yang dirugikan adalah masyarakat golongan menengah ke bawah yang secara langsung menikmati energi ini. Sementara mereka yang berkecukupan, meskipun mengeluh tetapi masih memiliki alternative dengan membeli mesin sendiri sebagai penghasil energi listrik.

Situs berita Antara mencatat kebutuhan listrik untuk masyarakat maupun industri diperkirakan belum akan tercukupi sampai pemerintah menjalankan program pengadaan pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap II yang akan dilakukan pada 2009/2010 dan selesai tiga tahun kemudian.

Pembangunan Berkelanjutan Perlu Energi Alternatif 

Dari latar belakang di atas perlu kiranya pemerintah mencari alternative terbaik dalam menangani krisis listrik yang cepat dan murah serta menghasilkan daya listrik yang berlipat-lipat, sehingga mampu memenuhi kebutuhan listrik nasional. Ada wacana di masyarakat dari kaum terpelajar di negeri ini untuk memanfaatkan energi nuklir sebagai alternative mengatasi krisis listrik, meskipun alternative lainnya masih terus dipikirkan dalam menghasilkan energi listrik berskala besar.

Pemikiran tersebut bukan tidak beralasan, karena Indonesia memiliki sumber energi nuklir yaitu uranium dan SDM serta teknologi telah dimiliki Negara ini, tinggal bagaimana menerapkan dan mengembangkannya saja yang butuh keberanian. Tetapi, setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, energi nuklir masuk ke dalam kelompok energi yang dapat dikembangkan sehingga, sudah tidak menjadi wacana lagi tetapi sudah akan menjadi kebijakan pemerintah. Selanjutnya dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 (Mattaanisa.blogspot ), energi nuklir masuk ke dalam jenis energi alternatif yang akan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik (PLTN).

Langkah pemerintah juga semakin mantap dengan memasukkan energi nuklir sebagai salah satu komponen di dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2005-2009. Walaupun akan beroperasi pada 2016, rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), menuai berbagai penolakan dari berbagai elemen. Kekhawatiran mereka terutama diakibatkan oleh nama nuklir yang sudah telanjur negatif.

Maklum saja, sejak di bomnya dua kota di Negara Jepang yaitu Kota Nagasaki dan Hirosima, nuklir menjadi kata yang begitu mengerikan. Belum lagi kejadian yang lebih nyata, yaitu terjadinya kebocoran reaktor nuklir pada 26 April 1986 di PLTN Chernobyl yang terletak di Pripyat, Ukraina. Dengan adanya peristiwa tersebut, tak mengherankan jika berbagai kalangan semakin mengenal betapa dahsyatnya efek penghancuran yang ada pada nuklir yang tentu saja membuat citra nuklir sebagai bahan perusak lebih populer dibanding manfaat nuklir untuk kehidupan umat manusia.

Sebenarnya tidak hanya nuklir, hampir semua material yang tersedia di bumi ini, jika tidak ditangani secara profesional dan proporsional, jelas akan menjadi ancaman bagi manusia. Sudah sewajarnyalah bangsa ini memandang dan memperlakukan nuklir secara proporsional dan juga melihat nuklir sebagai sebuah material yang mampu memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia.

Dari sudut pandang kebutuhan energi masa sekarang dan masa akan datang, sebahagian besar masyarakat sepakat bahwa Indonesia harus meningkatkan suplai energinya, terutama kebutuhan listrik yang hingga kini masih gagal diantisipasi oleh PLN. Selain listrik sebagai sumber penerangan, ia mempunyai fungsi lain sebagai pendorong perekonomian dan pembangunan, sehingga tercipta suatu korelasi antara konsumsi energi listrik dengan tingkat perekonomian suatu masyarakat.

Dengan kekayaan sumber energi yang berlimpah, Indonesia mampu melepas keterikatan dari Negara lain terutama Amerika, dengan mengembangkan sendiri sumber energinya serta memanfaatkan potensi alam yang ada. Indonesia tidak lagi mengekspor bahan baku tetapi sudah harus mengimpor barang jadi ke negara lain. Melepas ketergantungan dari negara lain memang butuh modal dan mental yang kuat tetapi bila hal tersebut mendapat dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia maka, tidak mustahil pembangunan di Indonesia akan lepas landas menuju masyarakat madani yang sejahtera sehingga tidak sekedar etopia saja.

Pembenahan Manajemen PLN

PLN sebagai perusahaan tunggal milik pemerintah yang menyediakan pelayanan publik di bidang energi listrik selayaknya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pelayan publik di bidang kelistrikan sudah saatnya dibenahi oleh pemerintah agar pembangunan di negeri ini tidak terhambat, masyarakat dan investor merasa nyaman tinggal dan menanamkan modalnya di negeri lumbung energi ini.

Salah satunya adalah merombak manajemen PLN yang sangat ini dinilai gagal dalam memberikan energi listrik kepada masyarakat. Akuntabilitas dan transparansi keuangan PLN perlu dilakukan sebagai bagian dari penerapan good gonernance and clean government di tubuh BUMN yang tidak pernah untung tetapi terus saja mengalami kerugian dalam pelaporannya ini.

PLN dinilai gagal oleh masyarakat, sebagai indikatornya adalah tidak mampu men-supply secara penuh kebutuhan listrik masyarakat yang terus meningkat, kurang memanfaatkan energi terbaharui yang murah dan ramah lingkungan yang banyak tersebar di Indonesia tetapi justru menggunakan energi fosil yang jumlahnya terus berkurang. Tidak ada kerjasama yang sinergi antara PLN dan Pertamina sebagai pemasok bahan bakar minyak dan gas sebagai penggerak generator milik PLN, sehingga Negara/PLN perlu mengimpor dari Negara lain yang secara ekonomi jauh dari efisien dan menghabiskan uang Negara. Maraknya pencurian listrik sebagai akibat ketidakprofesionalnya PLN dalam menjaga asetnya, serta hal lainnya juga menjadi penyumbang kebobrokan manajemen PLN.

Semua hal tersebut perlu dibenahi dengan mereformasi birokrasi PLN menjadi birokrasi yang memberikan pelayanan maksimal, sehingga mampu mengantisipasi dan memikirkan solusi tepat agar pasokan energi listrik di Negara ini tercukupi, belajar dari Negara lain.

Solusi Bijak
Untuk mencukupi kebutuhan listrik suatu negara berpenduduk besar dengan daratan yang terbatas seperti Indonesia, PLN memerlukan suatu sumber energi yang ramah lingkungan dan berintensitas tinggi seperti PLTN. Pembangunan PLTN ini juga merupakan penerapan iptek dalam pembangunan berkesinambungan di Indonesia. Semua negara dengan penduduk besar di dunia telah menggunakannya. Bahan bakar nuklir merupakan anugerah Tuhan kepada manusia yang bila tidak dimanfaatkan maka akan terbuang percuma, karena ia akan hilang dengan sendirinya.

Tanpa eksplorasi baru, cadangan uranium dunia saat ini saja sudah cukup untuk kebutuhan energi hingga 100 tahun lagi. Dengan pengolahan dan pembiakan, bahan bakar nuklir bahkan akan mampu mencukupi kebutuhan energi hingga beribu-ribu tahun ke depan. Indonesia memiliki bahan bakar nuklir uranium yang bila perlu dapat segera dimanfaatkan, yaitu salah satunya di Bengkulu.

Sudah saatnya kita merubah mindset masyarakat untuk menerima energi nuklir sebagai alternative sumber listrik di Indonesia, yang lebih murah dan dapat menghasilkan listrik beribu-ribu watt dari sumber listrik lainnya seperti yang digunakan oleh Negara Amerika Serikat, Jepang dan Rasis Israel serta negara-negara lainnya.

Pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga air, angin, surya, dan gelombang untuk memenuhi kebutuhan manusia tetap diperlukan dan tidak bisa diabaikan. Sayangnya sejauh ini sumber-sumber terbarukan ini, baik secara teknologis maupun kapasitas, tidak bisa banyak membantu kebutuhan Indonesia yang secara bertahap akan menjadi berlipat kali kebutuhan sekarang.

Dengan terkurasnya sumber daya energi fosil kita di tengah tuntutan kehidupan yang lebih layak dan lingkungan hidup yang lebih bersih, kita tak punya banyak pilihan. PLTN perlu segera dimanfaatkan dan peran sumber energi terbarukan (air, surya, angin, biofuel) harus lebih ditingkatkan. Penggunaan PLTN dan sumber energi terbarukan secara optimal merupakan solusi bijak, cerdas, dan tepat untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi tertentu saja.

Tenaga nuklir dapat menjamin keberlangsungan penyediaan energi, peningkatan taraf hidup dan pembangunan berkelanjutan sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan. Tentu saja dengan pemanfaatan teknologi tinggi dan SDM Indonesia yang berkualitas dengan ahli-ahli nuklirnya menjadi kekuatan bangsa ini untuk menjadi Negara maju dengan pemanfaatan energi nuklir sebagai penggerak roda pembangunannya.

Kesimpulan

Dari uraian di atas mengenai pelayanan publik di bidang kelistrikan di Indonesia yang begitu mengawatirkan, padahal listrik bukan saja sebagai pemberi penerangan tetapi juga menjadi wajah pembangunan suatu negeri, baik pasokan energi listrik di suatu Negara maka baik pula perekonomian pembangunannya. Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan:

Pertama, pemerintah perlu membenahi manajemen PLN yang lebih transparan dan akuntabel sebagai penerapan good governance di tubuh birokrasi, sehingga pelayanan publik di bidang pemenuhan kebutuhan energi listrik dapat dilaksanakan. Kedua, sudah saatnya pemerintah mengurangi pemanfaatan energi fosil sebagai penggerak generator listrik ke energi terbarukan seperti angin, air, panas bumi, surya dan lain sebagainya.

Sementara untuk energi listrik dengan skala besar pemerintah dapat menggunakan reaksi nuklir sebagai sumber energinya, memanfaatkan cadangan uranium yang terdapat di Indonesia dengan mendirikan PLTN. Ketiga, menyiapkan SDM dan teknologi tinggi yang berkualitas di bidang energi nuklir untuk dididik menjadi ahli nuklir dan memberikan kesempatan kepada BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) untuk mengelola PLTN.

Keempat, Indonesia sudah saatnya melepas ketergantungan dari Negara lain dengan mengelola potensi alamnya sendiri dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa harus mengekspor bahan baku tetapi lebih kepada mengekspor barang jadi, apalagi bila bahan baku itu berupa minyak mentah.

Daftar Pustaka
Berbagai sumber

PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI KEBIJAKAN BANTUAN BERGULIR KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) DI KOTA TANJUNGPINANG

PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI
KEBIJAKAN BANTUAN BERGULIR KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) DI KOTA TANJUNGPINANG

Oleh Abu tabina

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Kondisi alam yang beriklim tropis dan kekayaan lahan yang luas, sangat memungkinkan bagi negara ini untuk maju dan berkembang menjadi salah satu negara dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang tinggi dan bukan sebaliknya.

Pembangunan di Indonesia menurut Rintuh dan Miar (2005:129) selama ini dinilai salah, karena pembangunan tidak berpusat kepada pembangunan agribisnis sebagai kekuatan utama bangsa ini tetapi lebih mengedepankan kepada pembangunan industrialisasi yang menggeser lahan pertanian menjadi lahan industri dan pemukiman. Sehingga untuk memulihkan perekonomian bangsa ini, pemerintah kembali melakukan pengembangan pembangunan di bidang agribisnis terutama di usaha mikro.

Beragam program dicanangkan oleh pemerintah untuk memulihkan kondisi perekonomian Bangsa Indonesia sejak merdeka. Diantaranya yaitu program penggemukan sapi potong, program one vilage one product ( satu desa satu produk), Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri, pelatihan keahlian dan keterampilan masyarakat produktif, pemberian kredit lunak, bantuan perahu dan alat tangkap ikan bagi nelayan, rehabilitasi rumah kumuh, bantuan bergulir Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan lain sebagainya.

Kesemuanya merupakan program yang dicanangkan pemerintah dalam rangka mengurangi dan mengayomi penduduk miskin. Tulisan ini akan membahas salah satu kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu kebijakan program Bantuan bergulir Kelompok Usaha Bersama (KUBE) khususnya yang dilaksanakan di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.

PEMBAHASAN

Kondisi Geografis


Kota Tanjungpinang memiliki karakteristik geografis dataran rendah, kawasan rawa dan hutan bakau. Hampir tidak terdapat perbukitan sehingga upaya pengembangan kota untuk pemukiman penduduk dan lainnya menjadi sangat mudah. Suhu berkisar antara rata-rata 21-30 derajat celcius dengan kelembapan rata-rata 61%-91% dan tekanan udara minimal 1000,5 MBS dan maksimal 1014,7 MBS. Memiliki dua musim yaitu musim hujan sekitar bulan akhir Oktober sampai awal Juni. Musim kemarau berlangsung antara bulan Juli sampai Agustus.

Dari sisi kependudukan kenaikan jumlah penduduk dengan rata-rata pertambahan 3,69% menjadi 146.603 jiwa dari 137.356 jiwa pada tahun 2000. Faktor pertambahan jumlah penduduk disebabkan oleh migrasi yang terjadi setiap bulannya karena banyaknya orang dari daerah luar yang datang dan menetap di daerah ini. Penyebaran penduduk kota Tanjugpinang kurang begitu merata. Untuk tahun 2001 dengan jumlah penduduk 146.603 jiwa, tingkat kepadatan per km2 sekitar 612 jiwa.

Pelaksanaan Program

Tahun 2010, sebanyak 27 kelompok usaha menerima manfaat bantuan program kelompok usaha bersama (Kube) yang bersumber dari APBD Kota Tanjungpinang. Program ini salah satu upaya Pemerintah Kota Tanjungpinang untuk mengentaskan kemiskinan yang ada diwilayahnya. KUBE merupakan program turunan pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial dalam mengurangi dan memberdayakan masyarakat miskin di wilayah perkotaan dan pedesaan dengan memberikan bantuan dana bergulir dari tiga sumber yaitu APBN, APBD Provinsi dan APBD Kota/Kabupaten.

Hasil produksi Kube yang ada di Kota Tanjungpinang dinilai berhasil dalam menyisihkan penghasilan untuk tabungan kelompok. Sehingga usaha ini mampu memperbaiki tingkat perekonomian rakyat dalam mengatasi kemiskinan. Kube yang bergerak di Kota Tanjungpinang diantaranya adalah Kube Usaha Baru yang membudidayakan teripang, Kelompok Udang Harimau yang membudidayakan udang, kelompok Angrek Merah IV yang bergerak di bidang pembuatan Opak (kerupuk singkong) yang pekerjanya semuanya terdiri dari ibu-ibu dan lain sebagainya. Pembuatan Kube berdasarkan kepada potensi yang dapat dikembangkan dan dimiliki oleh masing-masing wilayah, biasanya di bentuk ditingkat RT (Rukun Tetangga).

BPS telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin. Kriteria ini menjadi prioritas Pemko Tanjungpinang dalam memberikan bantuan kepada Kube. Rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari babmu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Ada satu tambahan lagi yaitu yang menjadi kriteria miskin yaitu rumah tangga yang tidak pernah menerima kredit usaha UKM/KUKM setahun lalu. Berikut ini merupakan tabel yang menjelaskan jumlah KK miskin di Provinsi Kepuluan Riau.

  Tabel 1: Sebaran Penduduk Miskin tahun 2005 di Provinsi Kep. Riau
Kabupaten/Kota Jumlah
Batam 33.408 KK
Bintan 10.211 KK
Natuna 8.820 KK
Karimun 7.717 KK
Lingga 7.147 KK
Tanjungpinang 6.376 KK

Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tanjungpinang terhadap rumah tangga miskin (RTM) di Kota Tanjungpinang pada akhir 2008 menunjukkan penurunan jumlah warga miskin dibandingkan survei yang dilakukan 2005. Penurunan jumlah tersebut dari 6376 RTM menjadi 5869 RTM. Penurunan jumlah RTM dalam bentuk angka ini menjadi acuan pemerintah apakah program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan itu berhasil atau tidak. Kekurangannya adalah tidak adanya data secara jelas dan rinci program mana yang paling efektif dalam mengurangi masyarakat miskin, karena sepertinya semua program tersebut berperan secara bersama-sama dalam mengurangi kemiskinan di Kota Tanjungpinang.

Kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui pemberian dana bergulir kepada KUBE merupakan bentuk kebijakan dalam mengurangi penduduk miskin terutama miskin dalam pengertian ekonomi yang menurut Rintuh dan Miar (2005:174) mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Harapannya dengan terselesaikannya kemiskinan secara ekonomi akan memudahkan kemiskinan dari dimensi sosial dan moral serta struktural dapat diminimalisir. Imbas bagi pemerintah daerah yaitu akan meningkatkan sumber PAD dari sektor usaha mikro, karena mayoritas KUBE bergerak di usaha mikro seperti peternakan dan pengelolaan hasil perikanan dan pertanian serta bentuk kerajinan tangan yang mempunyai nilai ekonomis.

Program yang dilaksanakan tersebut sebagai bagian dari fungsi pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat dengan memperdayakan potensi SDA dan SDM yang dimilikinya dengan mengembangkan sektor ekonomi mikro. Karena pada dasarnya tugas dari pemerintah adalah mengatur dan mengelola sumberdaya yang ada agar menghasilkan perubahan substansial dalam lingkungan yang belum mapan.

Ukuran kesejahteraan lebih kompleks dari kemiskinan. Kesejahteraan harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kerohanian. Orang yang bisa berobat ke dokter bila sakit, dapat menjalankan ibadah agamanya dengan baik, dan mudah mengakses makanan bergizi, adalah orang sejahtera. Karena itu, ketidaksejahteraan dapat terjadi karena alasan ekonomi atau non-ekonomi. Bantuan bergulir kepada Kube merupakan bentuk usaha pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi.

Kesejahteraan dapat diraih jika seseorang dapat mengakses pekerjaan, pendapatan, pangan, pendidikan, tempat tinggal, kesehatan, dan lainnya. Kesehatan adalah salah satu indikator kesejahteraan. Secara makro, ini dicerminkan oleh angka kematian bayi, angka harapan hidup, dan angka kematian ibu melahirkan. Berbagai indikator itu terkait mudah-tidaknya akses seseorang terhadap layanan kesehatan. Pendidikan menjadi kunci penting guna mengatasi kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Upaya pemerintah membagikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) ke sekolah-sekolah bertujuan agar masyarakat dapat mendapat pendidikan secara gratis atau murah.

Masyarakat yang terdidik berpeluang meraih pekerjaan lebih baik sehingga mereka terhindar dari kemiskinan. Adanya program KUBE mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang beragam aktivitas usaha untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan masyarakat. Penanganan secara kelompok ditujukan untuk menumbuhkembangkan semangat kebersamaan dalam upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial. Pembinaan dan pengawasan pemerintah kota Tanjungpinang dalam efektivitas program menjadi bagian integral yang mesti dilaksanakan.

Kesimpulan

Adanya program pengentasan kemiskinan di Kota Tanjungpinang salah satunya berupa program bantuan bergulir Kelompok Usaha Bersama (Kube) menurut data BPS Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau menunjukan angka penurunan meskipun penurunan yang terjadi tidak terlalu ekstrim. Tetapi adanya penurunan jumlah penduduk miskin di Kota Tanjungpinang menandakan kebijakan atau program pengentasan kemiskinan yang dilaksankan pemda setempat dinilai berhasil. Pemerintah perlu kembali mengevaluasi dengan baik kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah pengentasan kemiskinan ini. Sebagai bagian dari pelaksanaan amanat UUD 1945. Pemerintah Kota Tanjungpinang perlu menumbuhkan jiwa enterpreneurship bagi masyarakat baik itu bagi kalangan remaja, pemuda maupun orang tua, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang berasumsi bahwa pekerjaan yang terbaik adalah menjadi pegawai negeri sipil, tetapi perlu dirubah mindsetnya bahwa menjadi pengusaha itu jauh lebih baik ketimbang menjadi pegawai (swasta/negeri).

Daftar Pustaka
Rintuh, Cornelis & Miar. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat edisi pertama. Yogyakarta: BPFE UGM.
Suharto, Edi. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
www.depsosri.com. Diunduh tanggal 10 Maret 2010
www.ibintan.com. Diunduh tanggal 10 Maret 2010
www.kepri.bps.go.id. Diunduh tanggal 10 Maret 2010

Rabu, 20 Oktober 2010

ANALISIS: Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara di DKI Jakarta

 
Oleh Abu tabina
 
Mukaddimah
Begitu banyak undang-undang maupun peraturan daerah dan yang sejenisnya telah dibuat oleh pemerintah dalam rangka menciptakan kehidupan Negara menjadi lebih baik sebagai perwujudan dari managemen Pembangunan Negara Republik Indonesia. Tetapi realitas membuktikan, banyak kebijakan tersebut yang berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan dan bahkan hilang ditelan bumi karena sulitnya penerapan dan tidak adanya evaluasi yang baik.

Salah satu kebijakan tersebut adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2005 mengenai Pengendalian Pencemaran Udara di DKI Jakarta atau lebih dikenal dengan perda Pelarangan Merokok di tempat-tempat umum yang mulai dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 2006. Diketahui bahwa perda tersebut merupakan salah satu bentuk peraturan turunan dari peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Walaupun tidak secara nasional pelarangan merokok mendapat respon dari masing-masing daerah di Indonesia dengan beragam alasan dan kendalanya.

Kebijakan pemerintah DKI Jakarta pada era Gubernur Sutiyoso tersebut patut diacungin jempol dalam melindungi masyarakat terutama masyarakat yang anti asap rokok maupun masyarakat perokok yang tidak sadar dan tidak mau sadar akan bahaya asap rokok bagi kesehatan. Tetapi perda tersebut belakangan ini sudah tidak terdengar gaungnya lagi bahkan seakan perda tersebut sudah tidak berlaku lagi di Jakarta meskipun tulisan-tulisan pelarangan merokok masih ada di beberapa tempat umum.

Padahal banyak daerah lain yang mengambil kebijakan serupa seperti kebijakan pemerintah DKI Jakarta dengan mengeluarkan perda terhadap pelarangan merokok ditempat-tempat umum dengan beragam sanksi yang memberatkan bagi yang melanggarnya. Jika bercermin dari negara lain yang lebih maju, larangan merokok di tempat-tempat umum tidak hanya sekedar basa-basi, bahkan kesadaran akan bahaya merokok telah tinggi hingga di sampul rokok dibuat gambar-gambar menyeramkan yang berisi bahaya merokok bagi kesehatan disertai dengan gambar orang yang terkena kanker mulut akibat merokok seperti halnya di Negara Inggris.

Hal ini berbeda dengan di Indonesia, hanya dicantumkan tulisannya saja, padahal banyak dari masyarakat Indonesia yang acuh tak acuh terhadap tulisan. Seperti neraka, mereka tidak akan berhenti bermaksiat sebelum mereka merasakan panasnya siksaan di neraka kelak. Begitu pula dengan merokok mereka akan tetap merokok selagi mereka belum terkena penyakit akibat merokok. Sudah sepantasnya pemerintah menindak tegas bila didapati orang melanggar perda tersebut. Bila perlu CCTV ditempatkan untuk mengawasi setiap pelanggaran.

Selain itu disediakan pula tempat khusus bagi perokok yang banyak jumlahnya. Sebagai contoh, di bandara begitu bebasnya orang merokok, terutama diluar sebelum memasuki ruangan pemeriksaan, sehingga bagi orang yang bukan perokok hal itu merupakan suatu siksaan yang menyakitkan karena dikepung oleh asap rokok. Padahal, bandara adalah wajah bangsa, tidak hanya di bandara, di tempat umum lainnya terutama di angkutan umum, penumpang bahkan supirnya sendiri menjadi perokok aktif yang tentunya akan merugikan penumpang lainnya yang tanpa sadar menyandang gelar perokok pasif.

Atas pertimbangan untuk memberikan kenyamanan kepada masyarakat anti tembakau, Pemda DKI Jakarta sejak 2005 menyusun dan menetapkan perda tentang aturan merokok di tempat umum dan mulai berlaku efektif pada awal Februari tahun 2006. Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, sebelum Perda No. 2 tahun 2005 dibuat terlebih dahulu telah mengeluarkan SK No 11 Tahun 2004 yang mengharuskan penetapan kawasan bebas rokok di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dan untuk kawasan khusus perokok wajib dilengkapi alat sirkulasi udara serta larangan promosi ataupun hadiah berupa rokok di lingkungan kerja Pemprov.

Bagaimana evaluasi Perda No. 2 tahun 2005 ?
Undang-undang ini dikeluarkan sebagai salah satu bentuk kebijakan pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, dan supaya masyarakat terbiasa dengan perilaku hidup sehat. Jika mayoritas masyarakat Indonesia sehat, khususnya ibukota Jakarta tempat perda ini dikeluarkan akan berdampak pada peningkatan produktivitas kerja individu, dan tentunya dengan peningkatan produktivitas individu akan memacu kesejahteraan dalam suatu daerah tersebut. Akhirnya akan berpengaruh terhadap GNP (Pendapatan nasional) Negara Indonesia, sehingga tidak mustahil kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat tercapai seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.

Menurut saya ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam pengimplementasian perda tersebut di tengah masyarakat khususunya masyarakat Ibukota Jakarta:

Pertama, perlu meningkatkan kesadaran akan hidup sehat bagi masyarakat Indonesia, karena dinilai kesadaran masyarakat akan bahaya merokok masih kurang ditambah lagi sikap mayoritas masyarakat kita yang acuh tak acuh terhadap kesehatan dirinya bahkan kesehatan orang lain di sekitarnya. Padahal, merokok sudah menjadi kebiasaan dan gaya hidup yang sangat sulit untuk ditinggalkan oleh pecandunya.

Pada perkembangannya kemudian, kebiasaan merokok menjadi sebuah gurita di tengah pertumbuhan kehidupan masyarakat modern yang serba penuh tuntutan. Dengan demikian, pertumbuhan perokok pasif dan aktif tentu makin meningkat dari waktu ke waktu, yang lambat laun akan membuat para non perokok menjadi kehilangan tempat untuk menghirup udara segar.

Kedua, perlu membuat aturan yang didukung dengan aparat penegak dan penindak hukum yang tegas. Selama ini yang terjadi adalah perda tersebut tidak berjalan secara maksimal karena tidak ada yang mengawasi atau memberi hukuman secara langsung kepada orang yang melanggarnya. Padahal, karakter masyarakat Indonesia sangat sulit sekali menerapkan aturan baru bila tidak disertai pengawasan yang maksimal, meskipun sosialisasi gencar dilakukan oleh pemerintah, tetapi bila tidak ada tindakan tegas dari aparat yang berwenang, kebijakan maupun aturan tersebut akan mudah dilupakan oleh masyarakat.

Ketiga, kebijakan yang ada masih bersifat premature artinya larangan merokok di tempat umum ini, meski sudah dicanangkan gerakannya di Jakarta, masih belum matang untuk diterapkan dengan alasan, sebaiknya sebelum perda itu dikeluarkan terlebih dahulu ada pembatasan perizinan pabrik rokok dan lokasi penjualannya. Selain itu, penegakan disiplin, terutama para pejabat dan penegak hukum untuk tidak berlaku korupsi ketika denda pelanggaran perda ini diterapkan atau juga aparatur memberikan contoh terlebih dahulu dengan tidak merokok ditempat umum, karena selama ini masih ada aparatur terutama PNS yang merokok di kantor dan tempat umum lainnya. Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja juga harus menyediakan ruang khusus untuk merokok yang dilengkapi dengan alat pengisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi orang yang tidak merokok.

Keempat, meskipun secara nasional, pendapatan devisa dari tembakau atau rokok sangat besar, pemerintah harus berani membuat gebrakan baru yang fundamental untuk mengganti lahan perkebunan tembakau dengan tanaman alternative lain yang secara ekonomis lebih menguntungkan dan dapat dikelola menjadi suatu produk yang lebih berharga atau paling tidak sama dengan nilai jual tembakau atau rokok. Sehingga ketika sumber atau akar masalahnya sudah diatasi maka secara otomatis penerapan perda tersebut akan mudah dilaksanakan.

Sebagai contoh mengganti lahan tembakau dengan tanaman gandum dengan menerapkan teknologi yang cocok bagi iklim dan kandungan tanah di Indonesia, karena selama ini Indonesia menjadi salah satu Negara pengimpor gandum terbesar di dunia serta, tanaman lainnya yang mulai dari sekarang perlu dipikirkan oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan.

Kelima, perlu pelibatan penuh masyarakat dalam menjalankan dan mengawasi jalannya perda. Meskipun secara faktual, setiap perda yang dibuat oleh pemerintah membutuhkan masyarakat sebagai pengawas sekaligus yang diawasi. Sehingga peran serta masyarakat dalam mengefektifkan suatu perda mutlak diperlukan, sebagai contoh ketika perda itu dilaksanakan, pemerintah menyediakan sarana layanan bebas pulsa bagi masyarakat yang mau mengadukan terjadinya pelanggaran terhadap perda rokok, dan didukung dengan aksi cepat tanggap dari aparat yang bertindak tegas. Sehingga dengan begitu mekanisme control dapat berjalan dengan baik.

Dari penjelasan tersebut di atas, kebijakan pemerintah mengenai perda rokok no 2 tahun 2005 di wilayah DKI Jakarta, kebijakannya menggunakan pendekatan proses artinya lebih cenderung berorientasi kepada wujud adanya kebijakan itu sendiri dan kurang memperhatikan kualitas dari kebijakan tersebut. Sehingga perda rokok meskipun sudah ada tetapi dalam pengimplementasiannya masih kurang didukung oleh factor-faktor ekternal maupun internal lainnya dan terkesan kaku serta sulit diterapkan di tengah masyarakat.

Jadi apa rekomendasinya?

Ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan yang sebagian besar sudah diuraikan dalam tulisan di atas yaitu:
1. Membuat kerjasama antara pemerintah daerah dalam hal ini DKI Jakarta dan Kementerian Kesehatan dalam menggencarkan bahaya merokok bagi kesehatan pribadi maupun orang lain (lingkungan).
2. ¬Memanfaatkan aparat penegak hukum (trantib) yang teruji secara moral (tidak bermental koruptor) untuk mengawasi dan memberikan tindakan langsung bagi pelanggar perda.
3. Membuat layanan bebas pulsa (tersosialisasi secara baik) bagi masyarakat yang akan mengadukan terjadinya pelanggaran perda.
4. Membuat batasan perizinan pabrik rokok dan batasan penjualan rokok, sehingga tidak terkesan bebas.
5. Aparatur PNS Pemprov. DKI Jakarta terlebih dahulu menjadi contoh teladan untuk tidak merokok ditempat umum yang klasifikasinya telah tertuang secara jelas dalam perda.
6. Menyediakan tempat khusus bagi perokok di tempat umum dan mewajibkan kepada gedung-gedung perkantoran maupun fasilitas umum lainnya, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pimpinan yang tidak menyediakan fasilitas tersebut di kantornya.
7. Mengganti lahan tembakau dengan tanaman yang secara ekonomis lebih menguntungkan dengan penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka
Berbagai sumber