Selasa, 20 Juli 2010

Penampakan sepenting kenyataan...

Latar belakang

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan sesuatu yang sangat berharga. Penggerak dari roda pembangunan suatu negara adalah SDM yang berkualitas baik dari kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) maupun kemampuan emosional dan spritual yang terjaga. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pemeran utama dalam menjalankan proses pemerintahan di negeri ini sudah sepantasnya terpilih dari orang-orang istimewa. Melalui seleksi ketat dan tingkat kemampuan yang mumpuni di bidangnya.

Kesalahan diawal penerimaan PNS dalam mengisi jabatan struktural maupun fungsional dapat berimbas kurang efektif dan efisiennya proses pelayanan dan dapat menghambat proses pembangunan. Salah satu penyumbang terbesar dari carut-marutnya pelayanan publik di Indonesia adalah disebabkan individu aparatur negara yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai pelayan publik sebagai imbas dari perekruitan yang tidak sehat dan penuh dengan manipulasi.

Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov. Kepri) dari tahun ketahun terus mengalami pembenahan. Hal tersebut merupakan bentuk komitmen Pemprov dalam mewujudkan good governance and clean goverment yang mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Meskipun secara empiris penerimaan CPNS tahun 2009 masih ada kecurangan-kecurangan yang terekam di media.

Pada prinsipnya penerimaan CPNS sebagai bagian dari proses input Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas di lingkungan Pemprov. Kepri harus mengedepankan prinsip transparansi dan juga kelihatan transparan. Kelihatan transparan maksudnya sistem perekruitan harus dibuat seprofesional mungkin meskipun pada kenyataan masih ada kecurangan yang terjadi. Sehingga kelihatan transparan sama pentingnya dengan benar-benar transparan dalam sistem perekruitan CPNS.

Jika masyarakat melihat sistem penerimaan CPNS kelihatan transparan, maka masyarakat masih punya harapan. Majalah dwi mingguan Tarbawi (2010) mencatat, pengetahuan yang tepat terhadap harapan dan kebutuhan masyarakat pada dasarnya dapat memberikan implikasi terhadap kemauan meningkatkan kompetensi, menggali potensi dan cara baru untuk meningkatkan pelayanan para birokrat kepada masyarakat sebagai obyek yang dilayani.

Pembahasan

Penerimaan CPNS disetiap daerah tidak tertutup kemungkinan di Provinsi Kepulauan Riau selalu menuai masalah. Beragam modus terjadi, dari sistem uang pangkal kepada oknum tertentu, hingga titipan pejabat tinggi di daerah. Proses input yang tidak sehat ini tentunya semakin menumbuhkan efek negatif bagi pembangunan fisik maupun pembangunan psikis Sumber Daya Manusia (SDM) Provinsi Kepulauan Riau dan semakin menyuburkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah seperti yang terjadi dimasa orde baru era kepemimpinan Presiden Soeharto.

Mengelola penampakan sama pentingnya menjaga substansi, jangan sampai masyarakat melihat secara jelas bentuk kecurangan yang terjadi karena itu akan semakin memupuk ketidak percayaan masyarakat dan berakibat krisis multidimensi akut. Seperti yang terjadi pada saat penerimaan CPNS dilingkungan Pemprov Kepri, jumlah formasi yang diperebutkan berbeda dengan jumlah CPNS yang diterima, jelas hal ini menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Apalagi Kepala Kesbangpol dan Intelijen Pemprov Kepri (www.batamtoday.net) secara terang-terang membongkar borok penerimaan CPNS di media massa yang diawali dengan luapan emosinya ketika mengunjungi ruangan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Kepualuan Riau, menuntut proses transparansi penerimaan CPNS yang tidak mendapat tanggapan
serius.

Masyarakat melihat ini sebagai suatu kebiasaan buruk pejabat yang sulit dirubah, meskipun penerimaan CPNS tahun 2009 sudah bekerja sama dengan pihak ketiga dalam membuat dan menyeleksi nilai tes tertulis CPNS yaitu Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung. Penampakan transparansi di awal proses perekruitan CPNS ini ternyata tidak disusul dengan penampakan-penampakan transparansi selanjutnya. Media mengekspose ada peserta yang tidak lulus administrasi tetapi bisa lulus ujian tertulis seleksi CPNS, padahal syarat utama mengikuti ujian tertulis CPNS adalah harus lulus administrasi yaitu dengan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan.

Kemudian, isu yang terbukti benar terjadi di tengah masyarakat yaitu tentang 80 persen pegawai honor akan diangkat menjadi CPNS menjadi polemik tersendiri di masyarakat mengingat proses penerimaan pegawai honor di Pemprov. Kepri yang tidak transparan dan penuh kecurangan karena di dominasi keluarga atau relasi pejabat daerah. Apalagi penerimaan CPNS dari jalur tenaga honor mengurangi formasi penerimaan CPNS dari jalur umum, meskipun mereka sama-sama mengikuti ujian tertulis yang sekali lagi sarat dengan kecurangan, pemicu kemarahan Kepala Kesbangpol Prov. Kepri.

Proses perekruitan CPNS yang jujur dan transparan akan melahirkan SDM yang memiliki sikap idealisme tinggi dalam membendung pengaruh negatif PNS yang sudah terkontaminasi dengan penyakit birokrasi. Penyakit tersebut seperti tidak disiplin, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai penyumbang terbesar dalam perolehan rangking IHD (Indeks Human Development) terendah dari negara-negara di Benua Asia lainnya sekaligus penyumbang terbesar bagi proses pelayanan publik yang tidak ideal dan justru merugikan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan.

Proses input yang tidak sehat dapat berimplikasi bagi jalannya roda pemerintahan yang tidak sesuai harapan masyarakat. Seperti pelayanan primer dan sekunder kepada masyarakat yang tidak optimal, profesionalisme yang tidak ada dan mental aparatur pemerintah yang jauh dari ideal karena miskin kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual (EQ/SQ). Efek domino ini merupakan buah dari proses input SDM yang tidak sehat, meskipun fakta menjelaskan masih banyak CPNS yang direkrut secara normal dengan mengandalkan kompetensi dirinya, tanpa bantuan dan kemudahan orang lain. Tetapi ironisnya, sejarah menjelaskan keburukan lebih mudah tersiar dari pada kebaikan, sehingga terkadang banyak kebaikan dapat tertutupi hanya dengan satu keburukan.

Buruknya pelayanan publik di Provinsi Kepulauan Riau tentu akan melanggar Undang-undang (UU) nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. UU yang disahkan Presiden SBY pada tanggal 18 Juli 2009 tersebut menjadi salah satu pijakan hukum bagi upaya pemenuhan hak dasar rakyat melalui penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih partisipatif dan non diskriminasi. Selain itu, UU Pelayanan Publik juga menjadi salah satu strategi bagi upaya percepatan reformasi birokrasi dalam konteks pelayanan publik. Terutama karena beberapa aturannya bersifat “memaksa” bagi terjadinya perubahan pola pikir/mindset, sikap dan perilaku di jajaran birokrasi. Walaupun sejauh ini, sejumlah pasal-pasal yang diatur dalam UU tersebut terhambat untuk diimplementasikan karena hingga kini tak satu pun dari lima ketentuan turunan yang harus dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP) disahkan.

Padahal dalam pasal 60, ketentuan penutup UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa seluruh PP harus sudah disahkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak UU nomor 25 tahun 2009 disahkan (www.indowarta.com).

Sejumlah ketentuan yang terhambat untuk diimplementasikan karena belum diatur dalam PP, adalah; ketentuan mengenai ruang lingkup pelayanan publik, pedoman penyusunan stándar pelayanan, tatacara pengikutsertaan masyarakat dalam pelayanan publik, sistem pelayanan terpadu, proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat serta satu Perpres mengenai mekanisme dan ketentuan pemberian ganti rugi. Keterlambatan pengesahan PP tersebut tentu akan berimplikasi pada banyak hal, diantaranya; ketidakjelasan cakupan dan lingkup pelayanan publik yang diatur dalam UU tersebut, ketidakpastian akses partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, serta menghambat upaya percepatan reformasi birokrasi dalam memberikan layanan yang lebih baik terutama berkaitan dengan layanan kebijakan perekruitan CPNS khususnya di lingkungan Pemprov Kepulauan Riau.

Jangan sampai penampakan transparansi pun tidak ada dalam penerimaan seleksi tes CPNS, apalagi harus benar-benar transparan, sehingga yang terjadi di Kotamobagu, Sulawesi Utara (Maluk Post, 11 Juni 2010) terjadi pula di Provinsi Kepulauan Riau. Hasil klarifikasi Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukan terjadi kecurangan dalam perekruitan CPNS, sehingga Nomor Induk Pegawai (NIP) ratusan CPNS yang lulus tidak diterbitkan dan terancam dibatalkan.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan Pemprov Kepri yaitu, pertama, mengedepankan prinsip transparansi dalam penerimaan CPNS dengan jalan memberitahukan rangking peserta tes CPNS dari nilai tertinggi hingga ke rendah di media massa atau media milik pemerintah (website). Kedua, mengirimkan kembali salinan jawaban tes tertulis CPNS kepada peserta ujian yang sudah diberi nilai. Ketiga, menampakan proses transparansi kepada masyarakat sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Keempat, selain mengadakan tes tertulis juga melakukan tes wawancara untuk melihat secara langsung kualitas CPNS melalui kefasihan jawaban dan sikap personal pelamar CPNS, seperti yang dilakukan oleh beberapa daerah di Indonesia bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang memiliki integritas tinggi. Kesemuanya dilakukan demi menumbuhkan kembali tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Penutup

Ketika proses input pengadaan SDM berkualitas dilakukan oleh pemerintah secara transparan dan meminimalisir segala bentuk kecurangan, maka program-program pembangunan akan mudah mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dukungan ini diperlukan sebagai bentuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam membawa kepada kesejahteraan dan keadilan dalam proses pembangunan, yang berawal dari proses perekruitan PNS sebagai bagian dari input SDM berkualitas yang akan menjadi pelaku pemberi layanan bagi proses pelayanan publik di Indonesia.

Rendahnya kinerja pelayanan publik di Indonesia telah ditunjukan oleh hasil survei yang diadakan pada awal 2010 oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga konsultan yang bermarkas di Hongkong, yang mengeluarkan data yang mencoreng kinerja birokrasi pemerintah. Atas dasar standar penilaian dari 1 hingga 10, di mana angka 10 adalah terburuk, India mendapat skor 9,41. Dibelakangnya menguntit Indonesia dengan skor 8,59, lalu Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan China (7,93). Adapun Malaysia menggondol skor 6,97, kemudian Taiwan (6,60), Jepang (6,57), Korea Selatan (6,13), dan Thailand (5,53) (www.indonesiamonitor.com).

India memang lebih buruk tata birokrasinya ketimbang Indonesia. Tapi, tetap saja, kinerja birokrasi di Tanah Air masih carut marut, jauh dari Singapura yang telah menjalankan birokrasi paling efisien se-Asia dengan skor 2,53. Jika kondisi ini dibiarkan, dalam analisa PERC, dapat meningkatkan rasa enggan berinvestasi di negara yang bersangkutan. Ini memang hanya analisa sepihak yang tak perlu ditelan bulat-bulat. Tapi, setidaknya secara umum hasil survei menyimpulkan bahwa reformasi yang digadang-gadangkan pemerintah masih jauh dari target yang ditetapkan. Pantas saja Menko Perekonomian Hatta Rajasa merasa miris dengan kajian tersebut. Bahkan, predikat sebagai negara terburuk ke-dua terkait efisiensi birokrasi, membuatnya malu. Bisa jadi penyumbang rendahnya kinerja birokrasi pelayan publik di Indonesia menurut hasil survey PERC, salah satunya berasal dari proses perekruitan CPNS di Provinsi Kepulauan Riau.




Daftar Pustaka

Al Qurannul qarim. 2005. Jakarta: Syamil.
Harian Malut Post. 11 Juni 2010. Seleksi CPNS Curang, NIP Tak Keluar. Hal.16. Maluku Utara: Grup Jawa Pos.

Tarbawi/vol.IIV/2010. Halaman 3. Jakarta: Tarbawi Press.
www.batamtoday.net. Diunduh tanggal 24 Juni 2010.
www.indowarta.com. Diunduh tanggal 24 Juni 2010.
www.indonesiamonitor.com. Diunduh tanggal 24 Juni 2010.